BERKAH DARI PERBEDAAN PERAN
Oleh : Abd Aziz
“Meski pembicaraan atas nama gender sering kali menjadi bahan perbincangan yang hangat, tapi tidak tentu hakikat dari gender jika dipermasalahkan tidak seruwet apa yang sedang didiskusikan bersama.”
Untuk meningkatkan status dan kualitas perempuan telah dilakukan berbagai program dan kegiatan pemberdayaan perempuan, namun hasilnya masih belum memadai, Kesempatan kerja perempuan belum membaik, beban kerja masih berat dan pendidikan masih rendah.
Dari kegiatan tersebut lahir pemikiran bahwa hubungan/relasi yang timpang antara perempuan dan laki-laki di dalam dan di luar keluarga perlu diubah artinya diperlukan suatu perubahan struktural yaitu perubahan relasi sosial
dari yang timpang ke relasi sosial yang setara dimana keduanya merupakan faktor penting dalam menentukan berbagai hal yang menyangkut kehidupan keluarga.
Pada tahun 1980 diselenggarakan Konferensi Dunia tentang perempuan yang kedua di Kopenhagen setelah Konferensi Dunia tentang perempuan yang pertama diadakan di Mexico City oleh PBB tahun 1975, dan diperoleh gambaran bahwa di negara manapun status perempuan lebih rendah dari pada laki-laki. Konferensi kedua bertujuan untuk melihat kemajuan dan evaluasi tentang upaya berbagai negara peserta, tentang keikutsertaan perempuan dalam pembangunan.
Pada tahun 1985 diadakan Konferensi Perempuan ketiga di Nairobi, yang salah satu kesepakatannya adalah bahwa gender digunakan sebagai alat analisis mengkaji mengapa terjadi berbagai ketimpangan antara parempuan dan laki-laki
diberbagai bidang kehidupan.
Dari awal mengetahui tentang apa gender sampai tulisan ini dibuat, nampaknya ada suatu keinginan yang kuat dari para penggagas gerakan emansipasi. Gerakan “ini” diyakini menjadi motor utama dalam pembiasan ide tentang gender.
Lama-lama mendapat titik terang tentang apa yang menjadi motivasi dari garakan kaum feminis. Emansipasi gender sering dikonotasikan dengan hasrat untuk “minimal” penyamarataan antara laki-laki dan perempuan. Sepintas dari kata penyamarataan sudah sedikit bisa difahami. Namun kesepadanan yang bagaimana yang dimaksud? Kalimat ini acapkali membuat saya berpikir panjang.
Saya tercengang sendiri setelah mengerti tentang persamaan yang dimaksudkan dalam “gaung” kaum feminis. Feminisme bertujuan untuk menyamakan anatara laki-laki dan perempuan dalam koridor kuantitas (perfect quantity), dan ternyata bukan kualitas.
Dari konsep perfect quantity yang menjadi motivasi gender tidak membuat ketidak adilan gender menyemai solusi. Boleh dikata dengan gerakan gender rentetan persoalan ketimpangan gender semakin mengemuka. Benarkah hasrat ingin menyamaratakan kuantitas memang benar-benar ada dalam potensi laki-laki dan perempuan? Satu pertanyaan ini muncul dari pertanyaan lain dikarenakan nafsu perfect quantity.
Terlepas dari sepakat dan tidaknya, saya hanya akan sedikit mengupas bagaimana pengaruh yang terjadi jika suatu waktu peran ibu sebagai representasi dari perempuan dan ayah menjadi potret dari keterwakilan laki-laki harus sama. Tarulah ibu dan ayah sama-sama berkiprah diruan publik atau politik. Pertama, jelas secara kualitas laki-laki dan perempuan “beda”. Kedua, bagaimana dengan nasib anak-anaknya. Pembantu saja tidak cukup, karena pembantu bukan anggota dari keluarga. Ini hanya sebagian contoh kecil, belum lagi contoh yang lainnya.
Berpijak dari realitas yang mengemuka, tak luput jika peran laki-laki dan perempuan mengikuti teori keseimbangan (equillibrium). Artinya bahwa peran ayah dan ibu berada dalam konteks kerja sama yang intens. Dengan kerja sama yang intens, anggapan bahwa laki-laki dan perempuan saling melengkapi akan menapaki kenyataan.
Dalam bahasa sederhana, saya tertarik untuk menerjemahkan bahwa demokratisasi peran sah-sah saja sepanjang ada dominasi peran antara ayah dan ibu.
Wallahu a’lam.
Oleh : Abd Aziz
“Meski pembicaraan atas nama gender sering kali menjadi bahan perbincangan yang hangat, tapi tidak tentu hakikat dari gender jika dipermasalahkan tidak seruwet apa yang sedang didiskusikan bersama.”
Untuk meningkatkan status dan kualitas perempuan telah dilakukan berbagai program dan kegiatan pemberdayaan perempuan, namun hasilnya masih belum memadai, Kesempatan kerja perempuan belum membaik, beban kerja masih berat dan pendidikan masih rendah.
Dari kegiatan tersebut lahir pemikiran bahwa hubungan/relasi yang timpang antara perempuan dan laki-laki di dalam dan di luar keluarga perlu diubah artinya diperlukan suatu perubahan struktural yaitu perubahan relasi sosial
dari yang timpang ke relasi sosial yang setara dimana keduanya merupakan faktor penting dalam menentukan berbagai hal yang menyangkut kehidupan keluarga.
Pada tahun 1980 diselenggarakan Konferensi Dunia tentang perempuan yang kedua di Kopenhagen setelah Konferensi Dunia tentang perempuan yang pertama diadakan di Mexico City oleh PBB tahun 1975, dan diperoleh gambaran bahwa di negara manapun status perempuan lebih rendah dari pada laki-laki. Konferensi kedua bertujuan untuk melihat kemajuan dan evaluasi tentang upaya berbagai negara peserta, tentang keikutsertaan perempuan dalam pembangunan.
Pada tahun 1985 diadakan Konferensi Perempuan ketiga di Nairobi, yang salah satu kesepakatannya adalah bahwa gender digunakan sebagai alat analisis mengkaji mengapa terjadi berbagai ketimpangan antara parempuan dan laki-laki
diberbagai bidang kehidupan.
Dari awal mengetahui tentang apa gender sampai tulisan ini dibuat, nampaknya ada suatu keinginan yang kuat dari para penggagas gerakan emansipasi. Gerakan “ini” diyakini menjadi motor utama dalam pembiasan ide tentang gender.
Lama-lama mendapat titik terang tentang apa yang menjadi motivasi dari garakan kaum feminis. Emansipasi gender sering dikonotasikan dengan hasrat untuk “minimal” penyamarataan antara laki-laki dan perempuan. Sepintas dari kata penyamarataan sudah sedikit bisa difahami. Namun kesepadanan yang bagaimana yang dimaksud? Kalimat ini acapkali membuat saya berpikir panjang.
Saya tercengang sendiri setelah mengerti tentang persamaan yang dimaksudkan dalam “gaung” kaum feminis. Feminisme bertujuan untuk menyamakan anatara laki-laki dan perempuan dalam koridor kuantitas (perfect quantity), dan ternyata bukan kualitas.
Dari konsep perfect quantity yang menjadi motivasi gender tidak membuat ketidak adilan gender menyemai solusi. Boleh dikata dengan gerakan gender rentetan persoalan ketimpangan gender semakin mengemuka. Benarkah hasrat ingin menyamaratakan kuantitas memang benar-benar ada dalam potensi laki-laki dan perempuan? Satu pertanyaan ini muncul dari pertanyaan lain dikarenakan nafsu perfect quantity.
Terlepas dari sepakat dan tidaknya, saya hanya akan sedikit mengupas bagaimana pengaruh yang terjadi jika suatu waktu peran ibu sebagai representasi dari perempuan dan ayah menjadi potret dari keterwakilan laki-laki harus sama. Tarulah ibu dan ayah sama-sama berkiprah diruan publik atau politik. Pertama, jelas secara kualitas laki-laki dan perempuan “beda”. Kedua, bagaimana dengan nasib anak-anaknya. Pembantu saja tidak cukup, karena pembantu bukan anggota dari keluarga. Ini hanya sebagian contoh kecil, belum lagi contoh yang lainnya.
Berpijak dari realitas yang mengemuka, tak luput jika peran laki-laki dan perempuan mengikuti teori keseimbangan (equillibrium). Artinya bahwa peran ayah dan ibu berada dalam konteks kerja sama yang intens. Dengan kerja sama yang intens, anggapan bahwa laki-laki dan perempuan saling melengkapi akan menapaki kenyataan.
Dalam bahasa sederhana, saya tertarik untuk menerjemahkan bahwa demokratisasi peran sah-sah saja sepanjang ada dominasi peran antara ayah dan ibu.
Wallahu a’lam.
Komentar