Langsung ke konten utama

sistem hukum indonesia



HUKUM DAN DIMENSI SPIRITUAL

(Perspektif Positivis, Pospositivis dan Spiritualisme)

Abstrak

Tulisan ini akan mencoba menggambarkan hukum dan spiritualisme. Kajian hukum di sini dimaksudkan untuk menggambarkan hukum atau ilmu hukum melalui pendekatan perspektif historis, yakni pada era positivisme yang melahirkan hukum modern pada masyarakat liberal. Pada saat semacam itu nilai-nilai spiritual yang meliputi: etika moral dan agama tidak mendapat tempat sehingga hukum modern mengalami krisis spiritual. Dalam perkembangannya kemudian muncul gerakan pemikiran kritis yang post pisitivis yang berupaya untuk melepaskan diri dan menggugat pemikiran positivis. Pemikiran semacam itu berangkat pada pemahaman hukum yang tidak hanya bersifat formal, yang mementingkan peraturan, prosedur dan logik, tetapi lebih menekankan pada perkembangan mutahir ilmu pengetahuan (the pronter changing of science), yang memahami ilmu sebagai satu kesatuan (the unity of knowledge) yang tidak lepas dari fakta emfirik dan realitas alam dan perilaku sosial yang berkaitan dengan nilai-nilia yang menyertaainya, seperti etik, moralitas dan nilai-nilai spiritual.

Kata kunci: ilmu hukum, positivis, pospositivis, spititualisme

A. Pendahuluan

Garis depan ilmu senantiasa berubah (the changing of science). Ilmu berusaha mencari dan mengungkap kebenaran, tetapi pada waktu yang sama menyadaari keterbatasannya. Ilmu tidak dapat berpretensi (telah) menemukan kebenaran absolut. Ilmu sennatiasa merupakan proses pencarian terhadap kebenaaran. Berangkat dari uraian di atas, maka tidaklah mengherankan bahwa garis depan ilmu selalu berubah-ubah dan bergeser. Kebenaran Kebernaran ilmiah tidaklah bersifat mutlak (absolut), berubah-ubah dan tidak abadi. Ia bersifat nisbi, sementara dan kira-kira. Namun kebanyakan ilmuwan mengakui adanya kebenaran mutlak yang merupakan otoritas dari Al-khaliq. Kebenaran mutlak merupakan kebenaran tunggal yang sering disebut sebagai kebenaran hakiki yang substanstif dan esensial, yang tampil dalam bentuk keteraturan alam semesta.

Kebenaran hasil olah pikir manusia bersifat relatif, namun dimungkinkan manusia dapat mejangkau lebih luas lagi samudra kebenaran yang dibentangkan melalui kekuasaan Allah baik yang tersurat dalam Al-kitab dan ciptaan-Nya yang tergelar di alam semesta maupun yang melalui kreasi potensi manusia, berupa akal, budi dan indera. Dimungkinkan manusia akan mampu meraih kebenaran yang lebih tinggi dalam wujud kebenaran transendental yang vertikal.

Menurut Liek Wilardjo teori itu, dan dengan sendirinya juga konsep yang terkandung di dalamnya, akan diterima sebagai secara ilmiah benar dan baik dalam pengertian bahwa ia bermanfaat dalam menyingkapkan beberapa butiran-butiran kebenaran yang tersembunyi dalam perbendaharaan alam, walaupun hanya berarti penegasan-penegasan yang dapat diuji secara emfiris pada umumnya.

Dalam bahasa Thomas Khun, ilmu dari waktu ke waktu mengalami revolusi dimulai dengan perubahan dalam paradigma yang digunakan. Salah satu peristiwa besar dalam dunia ilmu pengetahuan adalah berakhirnya era Newton melalui suatu revolusi dan untuk waktu yang lama diterima sebagai keunggulan ilmu pengetahuaan yang mampu mengakhiri keterbatasannya untuk menjelaskan dan mempetakan alam. Sejak fisika dan paradigma Newton yang baru itu, maka seluruh alam dianggap telah dapat dilihat dalam suatu susunan yang tertib. Tetapi era Newton bukan akhir segalanya, alam masih menyimpan kompleksitas yang tidak dapat dijelaskan atau dijangkau oleh teori Newton.

Kini garis depan ilmu telah berubah. Era Newton diganti teori Relativitas Einstein yang lebih mampu mengamati fenomena alam yang kompleks. Menurut Phillip Clayton era sains telah berubah, yakni telah menerima keterbatasan-keterbatasan dalam prediksi (mekanika kuantum), aksiomatisasi, determinisme, atomisme maupun pemahaman berdasar hukum atas perilaku manusia. Teori Emergensi kini menyarankan bahwa alam terbuka ke atas. Hakikat kesadaran manusia terbuka ke atas yang menerima getaran-getaran keabadian transendental, memberi model yang sangat kuat bagi integrasi antara jiwa dan roh. Sebuah gambaran yang persis sama dengan apa yang diajarkan oleh agama, baik Yahudi, Kristen maupun Islam.

Di sini tampak menunjukan bahwa ilmu pada hakikatnya satu (the unity of Knowledge) yang dikonsepkan dalam istiah “Consilience”. Pergantian paradigma dalam ilmu fisika daari mekanik ke teori kuantum yang lebih komplek, memberi pelajaran sangat berharga kepada studi hukum atau ilmu hukum. Memahami hukum tidak cukup hanya menggunakan pendekatan positivis-analitis, dilihat secara linier dan mekanik. dengan perlengkapan peraturan dan logika, kebenaran tentang kompleksitas hukum tidak dapat muncul. Hukum telah direduksi menjadi institusi normative yang sangat sederhana. Kebenaaran anthropologi, sosiologi, ekonomi, psikologis, managerial dan lain-lain tidak (boleh) ditampilkan. Batas antara oder dan disorde dilihat seara hitam putih.

Dalam kesimpulan tulisannya Philip Calyton mengatakan bahwa kini kita mulai melihat suatu renaisans, kebangkitan kembali metafisika (transendental), dari repleksi sistematik mengenai hakikat dan kreativitas Tuhan. Positivis boleh saja mengumamkan bahwa metefisika (transcendental) sudah mati, akan tetapi, rasanya kini justru positivisme logislah yang duluan mati. Sangat menarik perhatian bahwa era pemikir teisme dari Muslim, Yahudi dan Kristen kini kembali terlibat dlam eksplorasi yang sangat luas terhadap gagasan “hipotesis Tuhan”.

Tulisan ini akan mencoba menggambarkan hukum dan spiritualisme. Kajian hukum di sini dimaksudkan untuk menggambarkan hukum atau ilmu hukum melalui pendekatan perspektif historis, yakni pada era positivisme yang melahirkan hukum modern pada masyarakat liberal. Pada saat semacam itu nilai-nilai spiritual yang meliputi: etika moral dan agama tidak mendapat tempat sehingga hukum modern mengalami krisis spiritual. Dalam perkembangannya kemudian muncul gerakan pemikiran kritis yang post pisitivis yang berupaya untuk melepaskan diri dan menggugat pemikiran positivis. Pemikiran semacam itu berangkat pada pemahaman hukum yang tidak hanya bersifat formal, yang mementingkan peraturan, prosedur dan logik, tetapi lebih menekankan pada perkembangan mutahir ilmu pengetahuan (the pronter changing of science), yang memahami ilmu sebagai satu kesatuan (the unity of knowledge) yang tidak lepas dari fakta emfirik dan realitas alam dan perilaku sosial yang berkaitan dengan nilai-nilia yang menyertaainya, seperti etik, moralitas dan nilai-nilai spiritual.

B. Positivis dan Perkembangannya

Sebelum membicarakan berbagai perkembangan yang berkaitan dengan paradigma positivis, maka perlu dikemukakan terlebih dulu beberapa hal yang berkaitan dengan hukum alam (nature) yang keberadaannya dianggap amat penting sebagai pijakan dalam pengembangan filsafat positivis.

Hukum alam sesungguhnya merupakan suatu konsep yang mencakup banyak teori. Berbagai anggapan dan pendapat yang dikelompokkan dalam hukum alam ini bermunculan. Istilah hukum alam dituangkan dalam berbagai arti oleh berbagai kalangan pada masa yang berbeda. macam-macam anggapan tersebut di antaranya, pertama merupakan ideal yang menuntun perkembangan hukum dan pelaksanaannya; kedua suatu dasar dalam hukum yang bersifat moral yang menjaga jangan sampai terjadi suatu pemisahan secara total antara yang ada sekarang dan yang seharusnya; ketiga suatu metode untuk menuntun hukum yang sempurna; keempat isi dari hukum yang sempurna yang dapat didiskusikan secara akal, dan kelima suatu kondisi yang harus ada bagi kehadiran hukum.

Dalam perkembangannya, bidang hukum menunjukkan perubahan yang paradigmatic. Hukum tidak lagi dibangun, dan dijabarkan sesuai dengan tatanan nilai yang bersifat transendental atau berasal dari hukum alam, tetapi telah bergeser pada pandangan yang melihat peran manusia begitu dominan dalam merumuskan ketentuan aturan hukum. Tokoh pendekatan ini di antaranya Hugo de Graat atau Grotius yang memunculkan pemahaman hukum alam bersifat sekuler. Menurut paham ini, hukum berasal dari alam dan keberadaannya tidak bergantung dari Tuhan. Adanya hukum alam tidak bergantung pada eksistensi Tuhan. Hukum alam akan tetap ada terlepas ada tidaknya Tuhan. Hukum yang berlaku di suatu masyarakat merupakan bagian dari hukum alam. Karena itu, hukum alam oleh para pendukungnya dianggap berjasa dalam meletakkan landasan ideal nilai-nilai atau norma universal, seperti hak asasi manusia (HAM), persamaan derajat manusia, perlakuan yang sama dihadapkan hukum, dan lain-lain.

Kelemahan hukum alam adalah karena ide atau konsep tentang apa yang disebut hukum bersifat abstrak. Hal ini akan menimbulkan perubahan orientasi berpikir dengan tidak lagi menekankan pada nilai-nilai yang ideal dan abstrak, melainkan lebih mempertimbangkan persoalan yang nyata dalam pergaulan masyarakat. Latar belakang ini yang pada akhirnya melahirkan aliran hukum positif.

Aliran hukum positif berangkat dari pandangan bahwa hukum tidak berasal dari Tuhan atau alam, melainkan dari manusia sendiri berdasarkan kemampuannya untuk merumuskan ketentuan hukum yang sumbernya dapat saja digali dari nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Hukum lahir untuk mengikat masyarakat karena adanya perjanjian sosial (social contract), manusia sendirilah yang memang menghendaki. Aliran hukum positif memandang perlu untuk memisahkan secara tegas antara hukum dan moral. Dalam kacamata positivis, tiada hukum kecuali perintah penguasa, bahkan aliran positivitas legalisme menganggap bahwa hukum identik dengan undang-undang.

Pengaruh positivis modern telah memasuki segala sektor keilmuan. Ditandai dengan kebangkitan semangat Eropa, melalui Renaisance, sebagai abad pencerahan yang diyakini akan mampu membawa harapan melalui ilmu pengetahuan pada orde peradaban yang dapat memecahkan segala persoalan hidup manusia. Besamaan dengan ini itu teknologi (spiritualisme) menjadi semakin memudar karena keberadaannya dianggap sudah tidak mampu mengatasi persoalan-persoalan hidup yang nyata. Implikasi semangat positivis telah membawa pembaharuan di berbagai bidang ilmu pengetahuan sosial, politik, ekonomi, hukum dan bidang-bidang lain.

Di bidang hukum sejak lebih kurang 200 tahun, negara-negara di dunia menggunakan konsep hukum modern. Praktis, hukum menghadapi pertanyaan yang spesialistik, teknologis, bukan pertanyaan moral. Keadaan yang demikian itu sangat kuat nampak pada hukum sebagai profesi. Kaum professional adalah orang-orang yang ahli dalam perkara perundang-undangan, tetapi jangan ditanyakan kepada mereka tentang urusan moral atau moralitas. Ekses hukum di Amerika yang sudah menjadi bisnis mengundang orang untuk berkomentar bahwa sifat kesatrian, professional oblesse, menolong orang yang susah sudah semakin luntur. Tipe bantuan hukum yang demikian itu disebut sebagai penembak bayaran.

Hukum positif muncul bersamaan dengan berkembangnya tradisi keilmuan yang mampu membuka cakrawala baru dalam sejarah umat manusia yang semula terselubung cara-cara pemahaman tradisional. Hukum positif mengajarkan bahwa hukum positiflah yang mengatur dan berlaku dibangun di atas norma yuridis yang telah ditetapkan oleh otoritas negara yang didalamnya terdapat kecenderungan untuk memisahkan antara kebijaksanaan dengan etika dan mengindentikkan antara keadilan dengan legalitas yang didasarkan norma yuridis yang telah ditetapkan oleh otoritas negara yang didalam terdapat kecenderungan untuk memisahkan antara kebijaksanaan dengan etika dan mengindentikkan antara keadilan dengan legalitas yang didasarkan atas aturan-aturan yang ditetapkan oleh penguasa negara. John Austin menggambarkan hukum sebagai suatu aturan yang ditentukan untuk membimbing makhluk berakal oleh makhluk berakal yang telah memiliki kekuatan untuk mengalahkannya. Oleh karena itu, hukum harus dipisahkan dari keadilan dan sebagai gantinya kebenaran hukum harus disandarkan pada ide-ide baik dan buruk yang didasarkan pada ketetapan kekuasan yang tertinggi.

Positivisme adalah aliran yang mulai menemui bentuknya dengan jelas melalui karya Agust Comte (1798-1857) dengan judul Course de Philoshopie Positive. Positivisme hanya mengikui fakta-fakta positif dan fenomena-fenomena yang bisa diobservasi dengan hubungan obyektif fakta-fakta ini dan hukum-hukum yang menentukannya, meninggalkan semua penyelidika menjadi sebab-sebab atau asal-usul tertinggi. Agus Comte membagi evolusi menjadi tiga tahap, pertama, tahap teologis dimana semua fenomena dijelaskan dengan menunjukkan kepada sebab-sebab supernatural dan intervensi yang bersifat ilahi; kedua tahap metafisika. Pada tahap ini, pemikiran diarahkan menuju prinsi-prinsip dan ide-ide tertinggi yang dipahami sebagai ada di bawah permukaan sesuati, dan ketiga, tahap positif yang menolak semua konstruksi hipotesis dalam filsafat dan membatasi diri pada observasi empirik dan hubungan fakta-fakta di bawah bimbingan metode-metode yang dipergunakan dalam ilmu-ilmu alam.

Garis besar ajaran positivisme berisi sebagai berikut: pertama, hanya ilmu yang bebas nilai yang dapat memberikan pengetahuan yang sah; kedua, hanya fakta (ikhwal/peristiwa empiris) yang dapat menjadi obyek ilmu; ketiga, metode filsafat tidak berbeda dengan metode filsafat tidak berbeda dengan metode ilmu; keempat, tugas filsafat adalah menemukan asas-asas umum yang berlaku bagi semua ilmu dan menggunakan asas-asas tersebut sebagai pedoman bagi perilaku manusia dan menjadikan landasan bagi semua organisasi sosial; kelima, semua interpretasi tentang dunia harus didasarkan hanya pada pengalaman (empiris verifikatif), keenam, mengacu pada ilmu-ilmu alam, dan ketujuh berupaya memperoleh suatu pandangan tunggal tentang dunia fenomena, baik dunia fisik maupun dunia manusia melalui aplikasi metode-metode dan perluasan jangkauan hasil-hasil ilmu alam.

Positivisme oleh Hart diartikan sebagai berikut: pertama, hukum adalah perintah, kedua, analisis terhadap konsep-konsep hukum adalah suatu yang berharga untuk dilakukan; ketiga, keputusan-keputusan dapat didedukasikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada terlebih dahulu tanpa menunjukkan kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta moralitas; keempat, penghukuman secar moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian, dan kelima, hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakanyang diinginkan. Inilah yang sekarang sering diterima sebagai pemberian arti terhadap positivisme.

Positivisme merupakan suatu paham yang menuntut agar setiap metodologi yang dipikirkan untuk menemukan kebenaran hendaklah memperlakukan realitas sebagai sesuatu yang eksis dan objektif yang harus dilepaskan dari sembarang macam prokonsepsi metafisis yang subjektif sifatnya. Pada saat diaplikasikan ke dalam pemikiran hukum, positivisme menghendaki dilepaskannya pemikiran yuridis mengenai hukum sebagaimana dianut olehpara eksponen aliran hukum kodrat. Oleh sebab itu, setiap norma hukum haruslah eksis dalam alamnya yang objektif sebagai norma-norma yang positif ditegaskan sebagi wujud kesepakatan kontraktual yang kongkrit antara warga masyarakat. Hukum bukan lagi mesti dikonsepkan sebagai asas-asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan sesuatu yang telah menjalani positivisasi sebagai legee atau lex guna menjamin kepastian mengenai apa pula yang sekalipun normatif harus dinyatakan sebagai hal-hal yang bukan terbilang hukum.

Dalam negara modern, hukum positif dibuat oleh penguasa yang berdaulat. Penguasa digambarkan sebagai manusia superior yang bersifat menentukan. Penguasa ini mungkin seorang individu, sebuah lembaga, atau sekelompok individu. Menurut John Austin, karakteristik hukum positif terletak pada karakteristik imperatifnya. Artinya, hukum dipahami sebagai suatu perintah dari penguasa. Pemikiran semacam itu kemudian dikembangkan Rudolf van Hearinga dan George Jellinek yang menekankan pandangan pada orientasi untuk mengubah teori-teori negara berdaulat sebagai gudang dan sumber kekuasaan hukum.

Paham positivisme mempengaruhi kehidupan bernegara untuk mengupapayakan positivisasi norma-norma keadilan agar segera menjadi norma perundang-undangan untuk mempercepat terwujudnya negara bangsa yang diidealkan. Paham ini mempunyai struktur yang terintegrasi kukuh secara sentral dan berotoritas sentral yang tidak bisa dijabarkan, positivisasi hukum selalu memperoleh prioritas utama dalam setiap upaya pembangunan hukum di negara-negara yang tumbuh modern dan menghendaki kesatuan dan atau menyatukan. Tidak Cuma yang menuju ke nation state, melainkan juga yang dulu menuju ke colonial state. Tak ayal pula, positivisasi hukum selalu berhakikat sebagai proses nasionalisasi dan etaisasi hukum menuju kemampuan negara dan pemerintah untuk monopoli kontrol sosial yang formal lewat pendayagunaan hukum positif.

Hukum adalah perintah penguasaan negara. Hakikat hukum menurut John Austin terletak pada unsur perintah. Hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap, logis, dan tertutup. Karena itu, pihak penguasalah yang menentukan apa yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Kekuasaan dari penguasa dapat memberlakukan hukum dengan cara menakuti dn mengarahkan tingkah laku orang lain ke arah yang diinginkan.

John Austin, pada mulanya, membedakan hukum dalam dua jenis, yaitu hukum dari Tuhan untuk manusia dan hukum yang dibuat oleh manusia dapat dibedakan dengan hukum yang sebenarnya dan hukum yang tidak sebenarnya. Hukum yang sebenarnya inilah yang disebut sebagai hukum positif yang meliputi hukum yang dibuat oleh penguasa dan hukum yang disusun oleh manusia secara individual untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Hukum yang tidak sebenarnya adalah hukum yang tidak dibuat oleh penguasa sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum. Hukum yang sebenarnya memiliki empat unsur yaitu perintah (Command), sangsi (sanction), kewajiban (duty), dan kedaulatan (soveignty).

Sementara menurut Hans Kelsen, hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir non yuridis seperti unsur sosiologis, politis, historis, bahkan nilai-nilai etis. Pemikiran inilah yang dikenal dengan teori hukum murni (reine rechlehre). Jadi hukum adalah suatu kategori keharusan (sollens kategorie) bukan kategori factual (sains kategorie). Hukum baginya merupakan suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk rasional.

Teori hukum murni boleh dilihat bagai suatu pembangunan yang amat seksama dari aliran positivisme. Ia menolak ajaran yang bersifat ideologis dan hanya menerima hukum sebagaimana adanya, yaitu dalam bentuk peraturan-peraturan yang ada. Teori hukum ini adalah teori tentang hukum positif. Ia berusaha untuk mempersoalkan dan menjawab pertanyaan apakah hukumnya dan bukan bagaimana hukum yang seharusnya. Karena itu, menurut Hans Kelson keadilan sebagaimana lazimnya dipertanyakan hendaknya dikeluarkan dari ilmu hukum. Ia adalah suatu konsep. Ideologis, suatu ideal yang irasional. Pendapat yang mengemukakan bahwa keadilan itu ada, ternyata tidak dapat memberikan batasan yang jelas sehingga menimbulkan keadaan yang kontradiktif. Bagaimanapun keadilan itu tidak dapat dilepaskan dari kehendak dan tindakan manusia. Ia tidak bisa menjadi subjek ilmu pengetahuan. Apabila dipandang dari sudut pengetahuan rasional, yang ada hanya kepentingan-kepentingan. Oleh karena itu, hanya ada konflik kepentingan-kepentingan.

Dasar-dasar pokok pikiran teori Hans Kelsen adalah sebagai berikut: pertama, tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap ilmu adalah untuk mengurangi kekalutan dan meningkatkan kesatuan (unity); kedua, teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Ia adalah pengetahuan tentang hukum yang ada bukan tentang hukum yang seharusnya ada; ketiga, ilmu hukum adalah normatif bukan ilmu alam, keempat, sebagai suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari sisi yang berubah-ubah menurut jalan atau cara yang spesifik, dan keenam, hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah seperti antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada.

Hans Kelsen juga dikenal sebagai pencetus teori berjenjang, (stuffen theory) teori ini melihat hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari susunan norma berbentuk piramida. Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatan dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma akan semakin abstrak sifatnya dan sebaliknya semakin rendah kedudukannya akan semakin kongkrit. Norma yang paling tinggi menduduki puncak piramida yang disebut norma dasar (grund norm). teori berjenjang ini kemudian dikembangkan oleh Hans Nawasky. Namun, lebih mengkhususkan pada pembahasan norma hukum saja. Sebagai penganut dari aliran positif, hukum dipahami identik dengan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh penguasa.

C. Pospositivis dan Dekonstruksi

Dalam perkembangannya, muncul aliran yang merupakan reaksi dari dominasi pemikiran rasionalisme yang dianggap mempunyai banyak kelemahan yang didasarkan pada pemikiran yang hanya terpaku pada nilai-nilai atau asumsi-asumsi yang bersifat khayal. Karena itu, akhirnya melahirkan aliran sejarah (historis) yang menginginkan suatu teori harus didasarkan pada kenyataan-kenyataan atau fakta. Tokoh dari aliran sejarah ini diantaranya adalah Von Savigny yang menolak untuk mengagung-agungkan akal seseorang. Hukum, baginya tidak dibuat tapi tumbuh dan ditemukan dalam masyarakat.

Menurut Von Savigny, hukum timbul bukan karena perintah penguasa atau kebinasaan, tetapi karena perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu. Jiwa bangsa itulah yang menjadi sumber hukum. Karena itu, Savigny mengeluarkan pendapatnya yang amat terkenal bahwa hukum itu tidak dibuat tetapi tumbuh bersama masyarakat. Pendapat Savigny amat bertolak belakang dengan pandangan positivisme, sebab mereka berpendapat bahwa dalam membangun hukum maka studi terhadap sejarah atau bangsa mutlak diperlukan. Pendapat tersebut oleh Puchta dibenarkan dan dikembangkan dengan mengajarkan bahwa hukum suatu bangsa serikat pada jiwa bangsa yang bersangkutan.

Teori hukum lain yang lahir dari proses dialetika antara tesis positivisme hukum dan antitesis aliran sejarah, yaitu sociological juris-prudence yang berpendapat bahwa hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Teori ini memisahkan secara tegas antara hukum positif dengan hukum yang hidup. Tokoh aliran ini terkenal di antaranya adalah Eugen Ehrlich yang berpendapat bahaw hukum positif baru akan berlaku secara efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (Lili Rasyidi, 1988: 55). Tokoh lain yaitu Roscoe Pound yang mengeluarkan teori hukum adalah alat untuk merekayasa sisial (law as a tool of social engineering). Roscoe Pound juga mengajurkan supaya ilmu sosial didayagunakan untuk kemajuan dan pengembangan ilmu huikum.

Penggunaan paradigma rekayasa sosial menekankan pada efektivitas hukum, yang umumnya diabaikan pada studi hukum tradisional yang lebih menekankan pada struktur dan konsistensi rasional dari sistem hukum. Dengan memperhatian perihal efektivitas hukum, maka perhatian studi hukum menjadi melebar dan melampaui kajian tradisional yang hanya menekankan pada masalah legalitas dan legitimasi saja. Memebicarakan efektivitas hukum hanya dapat dilakukan dengan pendekataan sosiologis, yaitu mengamati interaksi antara hukum dengan lingkungan sosialnya. Hukum tidak dilihaat sebgaai institusi yang stiril, melainkan senantiasa diuji kehadirannya dan karya-karyanya dari hasil dan akibat yang ditimbulkannya dalam kehidupan masyarakat luas.

Bersamaan dengan itu, berkembang juga aliran realisme hukum. Menurut aliran ini, hukum itu adalah hasil dari kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Ciri-ciri ajaran realisme sebagaimana dikemukakan oleh Karl. N. Liewellyn adalah sebagai berikut: pertama, tidak ada mahzab realis. Realisme adalah gerakan dari pemikiran dan kerja tentang hukum, kedua, realisme adalah konsep hukum yang harus diuji tujuan dan akibat-akibatnya. Realisme mengandung konsepsi tentang masyarakat yang berubah lebih cepat dari pada hukum; ketiga, realisme menganggap adanya pemisahan sementara antara hukum yang ada dan hukum yang seharusnya untuk tujuan-tujuan studi: keempat, realisme tidak percaya pada ketentuan dan konsepsi hukum sepanjang menggambarkan apa yang sebenarnya dilakukan oleh pengadilan dan orang, dan kelima realisme menekankan evolusi tiap bagian dari hukum dengan mengingatkan akibatnya.

Pospositivis dapat dipahami sebagai mode pemikiran atau dapat juga merupakan tahapan dalam lintasan sejarah. pospositivis secara umum dapat dikatakan sebagai gugatan terhadap positivis yang bercirikan rasionalistik, teknosentrik, dan universal yang telah mencapai status hegemonis di dunia. Kalau positivis melahirkan modernisme, maka post positivisme akan melahirkan pikiran post modernisme.

Era pospositivisme sering dipahami sebagai gejala berkembangnya pemikiran yang memberontak pada tatanan positivisme dengan indikasi bersifat anti rasionalisme. Dengan demikian, berarti telah peluang dan tempat berkembangnya pemikiran non rasional. Inilah yang oleh Jacques Derrida disebut sebagai dekontruksi, yakni pembongkaran cara berpikir yang logis dan rasional. Dekonstruksi membongkar unsur-unsur kekuasaan yang muncul dalam kesadaran. Dekontruksi dilakukan terhadap pemikiran-pemikiran yang dianggap dominan dan benar, karena yang dianggap benar selama ini, ternyata tidak membahagiakan manusia.

Dekontruksi telah membongkar positivisme yang selama ini dalam bidang hukum dianggap sebagai kebenaran oleh masyarakat modern. konsepsi kebenaran hukum merupakan nilai yang teramat penting menunjukkan kencenderungan yang relatif dan kabur. Nilai kebenaran dipahami dengan menggunakan pandangan yang berbeda dan mengarah pada suatu pemahaman bahaw kebenaran itu ukurannya menurut persepsi pembuat hukum. Pembuat hukum didasarkan atas kemauan pihak penguasa yang ditopang kelompok politik mayoritas dengan dituangkan dalam bentuk undang-undang. Padahal, kehendak dan pandangan politik kelompok mayoritas belum tentu mencerminkan kebenaran.

Dalam bidang hukum publik, khususnya hukum ketatanegaraan, demokrasi dengan sistem perwakilan dianggap sebagai sistem yang terbaik dalam negara modern. namun dalam perkembangannya sudah mulai dipertanyakan. Mereka menganggap bahwa representasi amat penting bagi modernisasi, organisasi, struktur politik dan filsafat yang mendasarinya. Akan tetapi, representasi adalah asing dan berlawanan dengan apa yang dipandang bernilai menurut pola post modernisme.

Dalam alam positivisme, perspektif spiritual dengan segala aspeknya seperti keagamaan, etika, dan moral diletakkan sebagai bagian yang terpisah dari satu kesatuan pembangunan peradaban modern. Karena itu, hukum modern dalam perkembangannya telah hilang unsur yang esensial yang berupa nilai transedental. Hal ini terjadi sebagai akibat cara berpikir yang didasari dari pandangan keduniaan yang diurus oleh kaisar dan keagamaan yang diserahkan pada tokoh agama (pendeta, rahib dan ulama). Cara berpikir seperti itu muncul bersamaan dengan runtuhnya kekuasaan Romawi dan berdirinya negara-negara bangsa di Eropa melalui perjanjian West Phalia tahun 1648 M yang dianggap sebagai awal kebangkitan Eropa, yang memunculkan etika protestan sebagai kekuatan yang mempengaruhi kapitalis Barat.

D. Spiritualisme dan Dialog Nilai

Corak spiritual dalam alam pospositivisme dapat dilihat pada jangkauan yang lebih luas yang berupa agama, etika, dan moralitas. Agama, etika dan moralitas tidak lagi dipahami dalam satu aspek saja, yaitu aspek yang terkait dengan persoalan teologi dan keinginan semata yang dapat dilihat melalui doktrin-doktrin dan peribadatan, tapi lebih dari itu persoalan nilai-nilai tersebut dapat didialogkan dengan persoalan pengembangan keilmuan, sosial, budaya, ekonomi, dan hukum. Sebab krisis masyarakat barat yang dianggap sebagai kegagalan peradaban modern karena pemikiran modern telah memisahkan spiritualisme dengan segala aspeknya dalam satu kesatuan pembangunan peradaban yang dibangun.

Danah Zohar dan Ian Marshall dalam bukunya “Spiritual Intellegence, The Ultimate Intellegence”, mengkritisi kegagalan peradaban barat dengan mengenalkan berpikir spiritual (spiritual tinking) dengan menggunakan pendekatan kecerdasan spiritual (spiritual quition), yang akan diperoleh kecerdasan yang paling sempurna (ultime intelegen), dilakukan dengan cara menerabas garis-garis formalisme (existing rule) dan transendental, sehingga akan dapat diperoleh pemikiran baru yang mendekataai kebenaran yang hakiki (the ultimate truth). Pemikiran semacam itu sangat menarik untuk kajian hukum dalam rangka untuk menempatkan hukum pada hakikatnya dan menjadikan hukum dapat membahagiakaan

Manusia perlu spiritual quotient karena di masyarakaat barat telah terjadi makna hidup di dunia modern (the crisis of meaning). Spitual quiation merupakan alat bagi manusia untuk dapat membangun berbagai perspektif baru dalam kehidupan, mampu menemukan cakrawala luas pada dunia yang sempit dan bisa merasakan kehadiran tuhan tanpa bertemu dengan Tuhan. SQ dapat digunakan untuk membangkitkan potensi-potensi kemanusiaan yang terpendam, membuat diri manusia semakin kreatif dan mampu mengatasi problem-problem esensial. SQ juga merupakan petunjuk ketika manusia berada di antara order dan chaos, memberikan intuisi tentang makna daan nilai.

Keceerdasan spiritual tidak ingin dibatasi patokan (relu-bound), juga tidaak hanya bersifat kontektual, tetapi ingin keluar daari situasi yang ada dalam ussaha untuk mencari keebenaran, makna atau nilai yang lebih dalam. Dengan demikian berpikir menjadi suatu infite game. Ia tidak ingin diikat dan dibatasi paatokan yang ada, tetapi ingin melampaui dan menembus situasi yang ada (transendental). Kecerdasaan spiritual tidak berhenti menerima keadaan dan beku, tetapi kreatif dan membebaskan. Dalam kreativitasnya, ia mungkin bekerja dengan mematahkan patokan yang ada (rule breaking) sekaligus membentuk yang baru (rule making). Kecerdasan spiritual sama sekali tidak menyingkirkan potensi intelegen dan emosi yang ada, tetapi meningkatkan kualitasnya, sehingga mencapai tingkat keccerdasaan sempurna (ultimate intelligence).

Penemuan SQ yang dilakukan melalui penelitian berbagai tempat, seperti di Meksiko dan Swedia menunjukan bahwa spiritualisme dan perspektifnya menjadi alternatif mutahir untuk menungkinkan manusia modern bisa keluar dari rasa keterasingan di tengah keramaian untuk menemukan jati diri sebagai manusia dengan pendekatan spiritual, yang di dalamnya ditemukan integrasi nilai secara subtantif. Di sini menunjukan bahwa temuan ilmiah tidak harus bersifat rasional dan logik, tetapi bisa juga sarat dengan nuasa nilai yang tidak dapat dijelaskan secara rasional tetapi dapat dirasakan melalui intuisi batin manusia. Perspektif spiritual menjadi penting dalam dunia ilmu atau pengembangan ilmu untuk menjadi ilmu lebih bermakna bagi kehidupan manusia.

Menurut Kenneth Boulding, Ilmu itu sarat dengan nilai. Kebahagiaan yang amat besar dari keberhasilan masyarakat keilmuan dalam memajukan ilmu pengetahuan adalah berkat sistem nilainya, di mana suatu pengabdian yang impersonal kepada kebenaran dianggap sebagai nilai tertinggi, kepada siapa kebanggan pribadi maupun kebanggaan nasional harus menundukan dirinya. Edward Teller menyebut, ciri utama dari ilmu “ialah bahwa ia menuntut disiplin mental yang besar, dan bahwa ia membawa kepada pencapaian intelektual yang akrab hubungannya dengan keserasian dan keindahan”

Mill dan Brandt dalam teori moralnya, mengatakan tindakan benar yang baik adalah tidakan yang menghasilkan kebaikan pada lebih banyak orang. Immanuel Kant mengemukakan manusia berkewajiban melaksanakan moral imperatif, agar masing-masing bisa bertindak baik yang dilakukan karena kesadaran bukan pemaksaan. A.I. Melden mengatakan hak moral kebebasan individu mempunyai saling keterkaitan antar individu, hak atas kebaikan komunitas dibutuhkan, termasuk hak memberitahu produk Iptek yang merugikan komunitas. Ilmu diarahkan pada keutamaan dan kebaikan sosial dalam suatu komunitas. Kebaikan yang dimaksud bukan sekedar kebaikan fisik, melainkan kebaikan memberi kebahagiaan non fisik.

Dalam perjalanan sejarah dan pengalaman emfirik, sering dijumpai adanya pandangan bahwa kebenaran ilmu hanya untuk ilmu, bahkan lebih pragmatis lagi, yakni tergantung kepada berbagai kepentingan, termasuk kepentingan ideologi dan politik, Kebenaran ilmu menjadi buta karena para ilmuwan penemunya tak beretika dan tak bermoral, sehingga tidak heran kalau hasil temuannya digunakan untuk kepentingan yang tidak bertangungjawab, ilmunya menjadi tidak bermanfat dan mendatangkan bencana kemanusiaan.

Namun demkian ilmu dan pengembangannya tidak bisa lepas dari etika dan moral. Sekalipun sering dicampuradukan dalam penggunaannya, tetapi persoalan baik-buruk, sopan, jujur, patriotik, solider adil, teguh pada pendirian yang benar, mencintai keindahan, dan lain lain, kesemuannya akan berkaitan dalam pengembangan ilmu dan perilaku keseharian seorang ilmuwan. Karena itu pengembangan ilmu menuntut value, etika dan moralitas memanusiakan manusia sampai pelestarian lingkungan. Demikian juga amat dibutuhkan produk seni berupa keindahan dan keharmonisan, serta moralitas yang mensucikan batin.

Demikian juga menurut Liek Wilardjo keterikan ilmu kepada nilai-nilai membuatnya tidak dapat dipisahkan dari etika. Perkataan “etis” menunjuk kepada bagaimana suatu budaya berpendapat seharusnya bertingkah laku. Etika memberi nasehat mengenai tingkah laku, biasanya dalam bentuk pernyataan, semboyan, pepatah, peribahasa dan sebagainya, yang mengandung arti, tetapi tidak menyatakan dengan tuntas, tujuan-tujuan yang baik dan didambakan, yang diharapkan bisa dicapai dengan mengikuti nasehat-nasehat, serat akibat-akibat buruk bila melanggar nasehat-nasehat tersebut.

Dalam situasi hipotesis yang delematis harus dipahami bahwa kebenaran merupakan suatu nilai, demikian juga kebaikan dan kemaslahatan. Ketiganya tidak bisa dilepas dalam bagian-bagian tersendiri, tetapi berkaitan yang menampilkan pandangan bahwa “ilmu yang tidak bebas nilai”. Seorang ilmuwan dalam menyampakan kebenaran tidak bisa lepas dari tata nilai keyakinan dan intiusi hati nurani yang menyuarakan etik kemanusiaan dan moral, serta nilai-nilai yang digali dari relung-relung kehidupan masyarakat (budaya) dan kemanfatannya untuk umat manusia..

Kebenaran spirituall selama ini sengaja atau tidak disengja dijauhi oleh para ilmuwan, karena dianggap lekat dengan wilayah kajian teologi (agama). Pertanyaan muncul, kenapa Allah menurukan agama yang mengajarkan nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan. Lebih rumit lagi pemahaman dan penafsiran antar agama terhadap suatu nilai sering kali berbeda. Inilah barang kali pentingnya dilakukan diolog agama atau nilai, dalam rangka mencari dan menghubungkan titik-titik persamaan menjadi konfigurasi tatanan nilai yang amat dibutuhkan manusia yang mendambakan terciptanya ketenteraman dan kedamaain kehidupan manusia.

Ilmu tidak boleh tinggal diam untuk mendialogkan persoalan nilai, dan tidak boleh menganggap bahwa persolan nilai dianggap bukan wilayahnya. Ilmu perlu didorong lagi untuk memasuki wilayah-wilayah seperti itu dan memfasilitasi dalam bentuk memberikan sumbangan kelebihan (metodelogi) yang dimiliki, dalam rangka untuk melakukan konvergensi atau titik temu antara persoalan kebenaran ilmu dan kebenaran ilahiah yang vertikal. Inilah tugas kita bersama sebagai seorang ilmuwan.

Alam pemikiran spiritual Islam misalnya, tumbuh tidak lepas dari proses asimilasi dan akulturasi antara kebudayaan Islam dan kebudayaan Yunani. Dalam Al-Qur’an sendiri tidak ditemukan kata filsafat (al-falsafah), karena Al-Qur’an menggunakan bahas arab asli, sementara al-falsafah merupakan bahasa arab bentukan yang sudah terpengaruh kata filsafat dari bangsa Yunani. Filsafat sebagai ilmu hakikat, dalam Al-Quran disebut dengan kata hikmah, atau al-hikmah. Al-Quran berisi kumpulan tertulis mengenai wahyu Tuhan, sedang hikmah atau filsafat adalah ilmu mengenai hakikat sesuatu.

Menurut Ali Ashraf, Ilmu berangkat dari nilai atau moral Al-Qur’an dan Hadits, yang mana keduanya bukan hanya menampilkan ayat-ayat (bukti kebenaran), tetapi juga hudan (pedoman kebijakan), juga rakhmah (anugerah Allah). Karena itu ilmu bukan hanya mencari kebenaran yang didasarkan pada penalaran dan diskursus, melainkan juga mencari kebijakan, kemaslahatan, ridha dan kasih sayang Allah.

Dalam perspektif Islam, ilmu secara aksiologis tidak hanya sekedar untuk ilmu, tetapi lebih dari itu ilmu harus bermanfaat untuk kemaslahatan, yakni kepentingan orang banyak. Ilmu ada dan ditemukan di dalam alam kehidupaan masyarakat Manusia disuruh untuk menggunakan potensinya, yakni akal dan hati untuk memahaminya. Dalam Islam akal (al-aql) menempati kedudukan yang teramat penting, disamping hati (kalbu) dan indera yang lain. Karena itu firman Allah yang pertama kali turun melalui Nabi Muhammad SAW adalah surat Al-Alaq yang dikenal dengan surat Iqra (membaca), disebutkan dalam Al-Qur’an “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan”, “Bacalah dan Tuhanmu yang paling pemurah”. (QS Al-Alaq, ayat 1 dan 3).

Dengan potensi yang dimiliki, manusia diperintahkan membaca kekuasaan Allah yang ada di alam ini, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal” (QS Ali-Imran, ayat 190). “Diantara tanda-tanda kekuasaan Allah, ialah menciptakan langit dan bumi dan bangsa berlain-lain bahasa dan warna kulit. Sesungguhnya yang demikian ini terdapat tanda-tanda bagi orang yang mengetahui (berilmu)” (QS Ar-Ruum ayat 22).

Ilmu dalam Islam disamping bisa digali berdasarkan Al-Quran dan Hadits juga terdapat Maslahat Mursalah, yang merupakan sumber hukum tambahan berdasarkan penelitian impiris (istiqra), yang diperoleh dari penonena alam dan peerilaku masyarakat, ditemukan dengan tujuan untuk kemaslahatan kehidupan manusia. Hal tersebut didasarkan pada Al-Quran yang menyebutkan “Dan tiadalah Kami mengutus kamu (nabi), melainkan untuk menjadi rakhmat bagi alam semesta” (QS Al-Anbiya, ayat 107)

Kemaslahatan dapat ditangkap secara jelas oleh orang yang mempunyai dan mau berfikir, sekalipun dalam kasanah pemikiran Islam terdapat perbedaan dalam memahami hakikat maslahat. Perbedaan tersebut bermula dari perbedaan kemampuan intelektualitas orang perorang dalam menafsirkan ajaran Islam yang terdapat dalam Al-Quran dan hadits, dimana masing-masing ahli pikir mempunyai keterbatasan, sehingga tidak mampu memahamai hakikat maslahat secara sama, karena adanya perbedaan yang bersifat temporal dan kondisi daerah (lokal) yang tidak sama.

Demensi spiritual bisa dilihat pada ajaran yang paling dasar, yakni aqidah, yang mengajarkan pemahaman hubungan antara manusia dengan alam dan dengan Tuhannya. Manusia dan alam pada hakikatnya adalah makhluk yang bersifat fana, sementara Tuhan adalah penguasa atas alam semesta beserta isinya (robbul alamin) yang bersifat kekal (baqa). Kebahagian terbesar seorang muslim mana kala dia mampu pasrah secara tolalitas mematuhi perintah (hukum-hukum) Allah yang bersifat kodrati (sunnahtullah), baik yang bersifat umum ataupun yang terperinci, sebagai konsekwensi dari pengakuannya bahwa Allah Maha Esa, penguasa segalanya, dan segala makhluk bergantung padanya (Q. S. 112 : 1-2)

Segala bentuk penghambaan manusia terhadap makhluk, baik alam (gunung, matahari, angin dll) atau kepada penguasa, pembesar, atasan kerja dll adalah syirik yang tidak diperbolehkan oleh Allah. Karena syirik merupakan perbuatan yang merendahkan martabat manusia, yang mestinya manusia hanya melakukan penghambaan dan pertolongan hanya pada Allah semata. Hanya kepada-Mu aku menyebah dan hanya kepada-Mu aku mohon pertolongan (Q. S. 1 : 5).

Sikap tersebut sebagai konsekwensi bahwa manusia sebagai khalifah di muka bumi (fil ard) (Q. S. 2 : 30), semata-mata dalam rangka melakukan pengahambaan atau pengabdian kepada Allah (Q. S. 51 : 56). Manusia yang diperintahkan oleh oleh untuk menjadi penguasa di muka bumi, mempunyai tugas (amanah) pertama, menjaga dan memlihara bumi dan isinya dari kerusakan, kedua, melakukan pengelolaan alam lingkungan untuk kesejahteraan manusia secara berkelanjutan (sustainable), ketiga, melakukan tugas risalah, yakni melakukan penegakan aturan (hukum) terhadap segala bentuk kemungkaran dan perusakan terhadap alam, dan keempat, semua yang dilakukan manusia dalam menjalankan hidup, kehidupan dan penghidupan akan dikembalikan atau diminta pertangungjawabannya kepada Allah.

Konsekwensi lebih lanjut manusia tidak diberbolehkan berbuat kerusakan (fasad), berbuat tidak seraakah (eksploitatif) tidak adil (dzalim) dan tidak boleh berbuat kesombongan (sum’ah), serta tidak boleh perbuat boros atau konsumtif (di’a). Tetapi sebaliknya harus berbuat baik (ikhsan), berperilaku santun dan bersahabatn. Semuanya itu dalam rangka untuk meujudkan kedamaian di bumi ini (islah).

Karakteristik alam pada hakikatnya mengikuti ketentuan sunnahtullah, yang bercirikan pertam, bersifat pasti (exact), yakni semua yang diciptakan Allah berada dalam keadaan seimbang (QS. 67 : 3-4 ), dan segalanya ada di alam diciptakaan menurut ukuran yang sudah ditentukan dan ditetapkan (QS. 54 : 3). Kedua, alam bersifat tetap (immutable), yakni matahari, bintang, dan bulan bererilaku patuh (istiqomah) bergerak menurut garis edarnya (QS. 36 : 40), dan berisfat tetap tidak berubah dan tidak ada yang merubah-rubah (QS 6 : 115). Ketiga, sifat alam tak mengenal siapapun (obyektif), yakni Allah menurunkan hujan dari langit ke bumi dan tumbuh tumbuh-tumbuhan, tanaman untuk keseluruhan kesejahteraan manusia (QS 16 : 14-18). Allah mencipta makhluk, termasuk manusia dalam keadaan berpasang-pasangan (QS. 36 : 36), dan semuanya akan memperoleh rizki berdasarkan ikhtiar yang dilakukannya.

Agar manusia bisa menjalankan fungsinya maka diciptakan aturan hukum yang bersifat kongkrit. Menurut Ziauddin Sardar, hukum adalah suatu pusat nilai yang berisi aturan, yang bertujuan untuk kesejahteraan umum yang universal bagi semua makhluk, mencakup kesejahteraan manusia untuk saat sekarang dan yang akan datang serta di alam baka nanti. Dengan syariat manusia akan mengetahui rambu-rambu antara yang dibolehkan (halal) dan dilarang (haram), antara perbuatan merusak (fasad), kedamaian dan kebaikan (iksan).

Hukum yang mengatur masalah alam diturunkan oleh Allah melalui firma-Nya lebih banyak bersifat global . Ketentuan hukum tersebut mengatur masalah seperti alam semesta, astronomi, penciptaan bumi, kemakmuran bumi, keaneragaman hayati, berupa plora dan fauna. Semua kemakmuran alam lingkungan diperuntukan untuk manusia, dan manusia sebagai khalifah diperintahkan oleh Allah untuk menjaga, memakmurkan dan melestarikannya.

Bagi umat Islam aturan hukum pengelolaan alam dan upaya penegakan hukumnya dalam rangka menjaga dari kerusakan yang diakibatkan oleh perusakan dan pencemaran alam lingkungan bukanlah persoalan yang terpisah dari perintah ajaran Islam, tetapi merupakan satu kesatuan (integral) ajaran dan perintah agama, yang hukumnya wajib untuk dilaksanakan. Sebab ajaran Islam tidak membedakan antara urusan atau kepentingan dunia dan akherat, sebagaimana yang dikenal dalam masyarakat barat (sekuler). Dengan demikian upaya pengelolaan alam yang berkelanjutan pada hakikatnya adalah kreatifitas ibadah.

Perspektif spiritual Ilmu, termasuk ilmu hukum bukan hanya didasarkan pada kebenaran yang qauliyyah, yang tingkat kebenarannya pada taraf haqq al-yakin, yang terhimpun dalam Al-Qur’an dan Hadits, tetapi juga berdasarkan kebenaran yang diperoleh dengan kemampuan potensi manusia melalui ulum naqliyyah, yakni perenungan, penalaran dan diskursus yang berkembang di masyarakat. Manusia menggali, mengolah dan merumuskan ilmu dengan tujuan tidak semata untuk ilmu tetapi juga untuk kebijakan, kemaslahatan masyarakat luas, dengan ridha, dan kasih sayang Allah.

Melalui dialog nilai, Philip Clayton menawarkan paradigma saints yang berangkat pada filsafat emergence. Pada era sekarang manusia menyadari bahwa kejadian-kejadian dunia alamiah tidak dapat dijelaskan hanya mereduksi pada komponen-komponen terkecilnya, tetapi juga harus dikaitkan dengan obyek-obyek dan kejadian-kejadian lain dalam konteks yang lebih luas dimana mereka menjadi bagiannya. Di sini paradigma hukum mempunyai makna baru ketika kita mendaki tangga kemunculan berikutnya pada tataraan wujud yang mempunyai kehendaak bebas sseperti kita.

Filsafat emergence menawarkan cara-cara untuk melengkapi karya-karya para ilmuwan yang ada sebelumnya, dengan menunjukan cara baru bagaimana sains, filsafat dan teologi dapat saling berhubungan secara harmonis. Mendialogkan antara iman dan sains, hukum wahyu dan hukum dunia menjadi penting, sekalaipun barangkali masih belum diperoleh titik temu, sampai kita mampu belajar lebih jauh melalu repleksi yang modelnya sudah dilakukan para ilmuwaan terdahulu sseperti ibnu Sina (Avicenna) dan Ibnu Rusyd (Averoes). Dialog nilai merupakan sumbangan pemikiran yang amat mnjanjikan di masa mendatang.

Cara yang dilakukan dengan mendiskusikan kembali secara intens dan mendalam sampai alam tataran konseptual tipe hukum, yakni hukum tabiat Ilahi, hukum wahyu, hukum alam, hukum tabiat manusia dan perilakunya, serta hukum moral. Kegiatan-kegiatan seperti itu dapat membuktikan bahwa sesungguhnya tidak lagi diperlukan ketegangan antara kepercayaan kepada Tuhan dengaan sains. Tugas bersama yang perlu kita pikul adalah memperlihatkan bahwa kepercayaan kepada Tuhan sesungguhnya akan mendukung hasil-hasil sains, dan kepercayaan kepada Tuhan merupakan jawaban atas pertanyaan mendasar yang diajukan ilmuwan, tetapi tidak dapat dijawb olehnya.

E. Penutup

Dari uraian tersebut dapat dirumuskan beberapa kesimpulan, sebagai berikut :

  1. Pemahaman hukum positivis berangkat dari pandangan bahwa hukum tidak berasal dari Tuhan atau alam, melainkan dari manusia sendiri berdasarkan kemampuannya untuk merumuskan ketentuan hukum. Positivis memandang perlu untuk memisahkan secara tegas antara hukum dan moral. Hukum. bercirikan rasionalistik, teknosentrik, dan universal. Dalam kaca mata positivis tiada hukum kecuali perintah penguasa, bahkan aliran positivis legalisme menganggap bahwa hukum identik dengan undang-undang. Hukum dipahami dalam perpektif yang rasional dan logik Keadilan hukum bersifat formal dan prosedural..
  2. Dalam positivis, dimensi spiritual dengan segala perpektifnya seperti agama, etika dan moralistas diletakkan sebagai bagian yang terpisah dari satu kesatuan pembangunan peradaban modern. Hokum modern dalam perkembangannya telah kehilangan unsur yang esensial, yakni nilai-nilai spiritual.
  3. Pospositivisme secara umum dapat dikatakan sebagai reaksi atau gugatan terhadap positivisme. Pospositivis mempunyai ciri dekonstruktif, relatifis, dan pluralis. Pada pemahaman hukum pospositivisme, spiritualisme dapat dipahami dalam berbagai makna sebagai spirit (ruhaniyah) yang berkaitan dengan substansi ajaran agama dan hal-hal yang berhubungan dengan etika dan moral.
  4. Terdapat kecen erungan kuat untuk memahami hukum tidak hanya dipandang dari segi normatif yang positivis, tapi lebih dari itu hukum harus dilihat dalam wajah yang utuh menyuruh. Kajian seperti itu mulai terasa dan mendapat tempat alam post positivis. Upaya untuk mengkaji dan memahami hukum harus lebih menekankan hal yang sifatnya substantif dan transendental dengan mendasarkan pada fakta sosial yang tidak lepas dari nilai-nilai agama, etik dan moral.
  5. Filsafat emergence, yang menawarkan cara-cara untuk melengkapi karya-karya para ilmuwan yang ada sebelumnya, dengan menunjukan cara baru bagaimana sains, filsafat dan teologi dapat saling berhubungan secara harmonis. Mendialogkan antara iman dan sains, hukum wahyu dan hukum dunia menjadi penting, sekalipun barangkali masih belum diperoleh titik temu. Dialog nilai merupakan sumbangan pemikiran yang amat menjanjikan di masa mendatang.
  6. Upaya untuk mendiskusikan kembali secara intens dan mendalam persoalan hukum, agama, etik dan moral menjadi teramat penting. .Kegiatan seperti itu dapat membuktikan bahwa sesungguhnya tidak lagi diperlukan ketegangan antara kepercayaan kepada Tuhan dengan ilmu hukum. Melalui upaya seperti itu dapat memperlihatkan bahwa kepercayaan kepada Tuhan sesungguhnya akan mendukung hasil-hasil pengembangan ilmu hukum, dan kepercayaan kepada Tuhan merupakan jawaban atas pertanyaan mendasar yang diajukan ilmuwan, tetapi tidak dapat dijawab olehnya.

DAFTAR PUSTAKA

Clayton, Philip, Memebaca Tuhan dalam Keteraturan Alam, Repleksi Ilmiah dan Religius, Makalah Disampaikan pada Intrnasional Conference on Religion and Scieence in the Post-Colonial Word, Yogyakarta, 2003.

Darmodiharjo, Darji dan Shidarta. 1995. Pokok-pokok Filsafat Hukum. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Friedman, W. 1990.Teori dan Filsafat Hukum. Telaah Krisis Atas Teori-teori Hukum, Terjemahan M. Arifin. Jakarta: Rajawali.

Muslehuddin, Muhammad. 1991. Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis. Yogyakarta: PT. Tiara Wacara.

Peursen, C.A. Van. 1991. Orientasi di Alam Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia.

Pizzi, William T, Trials Without Truth, Why Our System of Ciminal Trials has Become an Expensive Failure and we Need to Do to Rebuild It, New York University Press, 1999.

Rahardjo, Satjipto, 2002, Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, Surakarta, Muhammadiyah University Press.

------------------, 1991. Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

____________. “Paradigma Hukum Indonesia dalam Perspektif Sejarah”, Makalah. Symposium Nasional Ilmu Hukum Tentang Paradigma dalam Ilmu Hukum Indonesia, Program S3 Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 10 Pebruari 1998.

____________. 1997. Negara Hukum dan Deregulasi Moral. Jakarta: Kompas.

------------------, Menjalankan Hukum dengan Kecerdasaan Spiritual, Kompas, 30 desember 2002.

Ritzer, George (Penyadur Aliman). 1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: Rajawali Press.

Sidharta, Arief. 1996. “Refleksi Tentang Fundamental dan Sifat Keilmuwan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia”, Disertasi.Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran, Bandung. 1996.

____________, “Paradigma Hukum Indonesia dalam Perspektif Sejarah”, Makalah. Symposium Nasional Ilmu Hukum Tentang Paradigma dalam Ilmu Hukum Indonesia, Program S3 Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 10 Pebruari 1998.

Wignjosoebroto, Soetandyo, 2002, Hukum, Paradigma, Metode dan dinamika Masalahnya, Jakarta, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).

.

-------------------, 1995. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional. Jakarta Rajawali Press.

____________, “Permasalahan Paradigma dalam Ilmu Hukum”, Makalah. Symposium Nasional Ilmu Hukum Tentang Paradigma dalam Ilmu Hukum Indonesia, Program S3 Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 10 Pebruari 1998.

Wison, Edward O, Concilience, The Unity of Knowlwdge, Alfred A. Knopf, New York, USA, 1998.

Wilardjo, Like, Realita dan Desiderata, Duta Wacana University Press, Yogyakatra, 1990.

Zohar, Danah dan Marhal Ian, Spiritual Intellegence, The Ultimate Intellegence, Bloomsbury, Landon, 2000.

Law and Society, Review The Journal of the Law and Society Association, Volume 31 No. 2. 1997.

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum (S2) Universitas Muhammadiyah Surakarta

Satjipto Rahardjo, Merintis Visi Program Doktor Hukum UNDIP, Semarang, 2003, hal 8

Liek Wilardjo, Realita dan Desiderata, Duta Wacana University Press, Yogyakarta, 1990, hal 272.

Liek Wilardjo, Ibid, hal 272.

Satjipto Rahardjo, op Cit, hal 9.

Philip Clayton adalah seoraang guru besar dan ketua Jurusan Filsafat California State university, Sonoma, USA : Principle Investigaator, Science and the Spiritual Quees Project, artikelnya diberi judl Membaca Tuhan dalam Keetarutaran Alam, Repleksi Ilmiah dan Religius, UGM, Yogyakarta, 2003, hal 10.

Satjipto raharjo, Op Cit, hal 10.

Philip clayton, Op Cit, hal 10.

Lihat Dias dalam Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hal. 161

Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 1990, hal. 22.

Lihat Satjipto Raharjo, Negara Hukum dan Deregulasi Moral, Kompas, Jakarta, 13 Agustus,1997.

J. Austin dalam M. Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta. 1991. Hal.28

M. Muslehuddin, Ibid, Hal.29.

Arief Sidharta, Paradigma Ilmu Hukum Indonesia dalam Perspektif Positivis, Makalah Simposium Nasional Tentang Paradigma Ilmu Indonesia, Program Doktor Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 1998, hal. 1.

Lihat Hart dalam Satjipto Rahardjo, Ibid, Hal.268.

Soetandyo Wignjosoebroto, Permasalahan Paradigma dalam Ilmu Hukum, Makalah Simposium Nasional Tentang Paradigma Ilmu Indonesia, Program Doktor Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 1998, hal. 2.

M. Muslehuddin, Op. Cit. Hal.29.

Lihat Luhman dalam Soetandyo Wignjosoebroto, Op. Cit., Hal.2.

Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Pokok-pokok Filsafat Hukum , PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, Hal.98.

Lihat Bodenhaimer dalam Satjipto Raharjo, Op. Cit., hal. 272-273.

Ibid, Hal.273.

Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op. Cit. Hal.99.

Sutamdyo, Hukum dalam Ralitas Perkembangan Sosial Politik dan Perkembangan Pemikiran kritis-Teoritik yang Mengiringi mengenai fungsinya, Surabaya, 2003, hal 8.

Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Perkembangan, Metode dan Pilihan Masalah, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2002, hal 83.

Friedman dalam Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op. Cit. Hal. 116.

Danah Zohar dan Iaan Marshall, Spiritual Intelligence, the Ultimate Intellegience, Bloomsbury, Landon, 2000.

Danah Zohan dan Ian Mashal dalam Satjipto Rahardjo, Menjalankan Hukum dengan Kecerdasan Spiritual, Kompas, 30, Desember 2002.

Liek Wilardjo, op cit, hal 272.

Michael Williams dalam Noeng Muhadjir, ibid, hal 16-17.

Ibid, hal 279.

Ibid, hal 279.

Op cit, hal 273.

Musya Asy’arie, Filsafat islam suatu Tinjuan Antologis, dalam Filsafat Islam suatu Tinjuan Antologis, Epistimologis, Aksiologis, Historis dan Prospektif, Lembaga Studi Filsafat Islam, Yogyakarta, 1992, hal 14.

Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Edisi II, Rake Sarasin, Yogyakarta, 2001, hal 66-67.

Philip Clayton, Op Cit, hal 8.

Ibid, hal 9.

http://makalah-hukum.blogspot.com/2007_07_01_archive.html

dimiliki oleh setiap manusia di dunia dalam rangka mencari Tuhannya. Kebebasan beragama ini memiliki empat aspek, yaitu (a) kebebasan nurani (freedom of conscience), (b) kebebasan mengekspresikan keyakinan agama (freedom of religious expression), (c) kebebasan melakukan perkumpulan keagamaan (freedom of religious association), dan (d) Kebebasan melembagakan keyakinan keagamaan (freedom of religious institution)1. Di antara keempat aspek tersebut, aspek pertama yakni kebebasan nurani (freedom of conscience), merupakan hak yang paling asli dan absolut serta meliputi kebebasan untuk memilih




MAKALAH ISLAM DAN PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL
Mata Kuliah Politik Hukum


BAB I
PENDAHULUAN

Salah satu agenda nasional yang sejak masa sebelum reformasi hingga saat ini banyak didengungkan adalah pembangunan hukum nasional, yang pasca era reformasi banyak disebut dengan istilah reformasi hukum nasional. Sebelum reformasi, pembangunan hukum nasional ditujukan terutama untuk melakukan perubahan berbagai aturan hukum produk kolonial yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman dan kebutuhan pembangunan. Sedangkan pada era reformasi, kebutuhan untuk melakukan reformasi hukum semakin kuat dengan adanya perubahan UUD 1945 yang cukup mendasar dan mencakup berbagai aspek sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman, terutama demokratisasi dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Kebutuhan tersebut semakin mendesak demi terwujudnya konsolidasi hukum sebagai suatu sistem yang banyak dilupakan karena euforia reformasi nasional.
Pembangunan hukum nasional tidak berada dalam ruang kosong. Paling tidak terdapat tiga lingkungan strategis yang mempengaruhinya, yaitu lingkungan internasional, lingkungan nasional, dan tuntutan lokal. Dalam tata pergaulan dunia, bangsa Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari perkembangan dan tuntutan internasional, misalnya untuk masalah-masalah demokratisasi, perlindungan HAM, lingkungan hidup, dan perkembangan ekonomi perdagangan internasional. Dalam lingkungan nasional, pembangunan hukum nasional tentu harus dilakukan secara koheren dengan politik hukum sesuai dengan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi. Selain itu, pembangunan hukum nasional juga dipengaruhi dan harus memperhatikan tuntutan dan kepentingan masyarakat lokal.
Sesuai dengan lingkungan yang mempengaruhi pembangunan hukum tersebut, materi hukum dapat disusun dan dibuat dengan mengambil dari nilai-nilai internasional yang bersifat universal, dan juga nilai-nilai masyarakat, baik itu nilai budaya maupun nilai agama. Bahkan, agar dapat benar-benar berlaku secara efektif, hukum yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai tersebut.
Nilai agama, adalah nilai yang sangat kuat dipegang dan dipatuhi oleh bangsa
Indonesia. Karena masyarakat Indonesia mayoritas memeluk agama Islam, maka sudah lazim jika Islam memiliki peran dan posisi tersendiri dalam pembangunan hukum nasional. Untuk menjelaskan bagaimana hubungan tersebut terlebih dahulu tentu harus didudukkan secara tepat bagaimana hubungan antara agama dengan negara di Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN
A. Hubungan Negara dan Agama
Dalam perkembangan peradaban manusia, agama senantiasa memiliki hubungan dengan negara. Hubungan agama dan negara mengalami pasang surut seiring dengan perkembangan pemahaman pemaknaan terhadap agama dan negara itu sendiri.
Ada suatu masa di mana negara sangat dekat dengan agama atau bahkan menjadi negara agama. Di saat lain, terdapat pula masa-masa agama mengalami ketegangan dengan negara.
Puncak hubungan antara negara dan agama terjadi ketika konsepsi Kedaulatan Tuhan dalam pelaksanaannya diwujudkan dalam diri Raja. Kedaulatan Tuhan (theocracy) dan Kedaulatan Raja berhimpit satu sama lain sehingga kekuasaan raja adalah absolut yang mengungkung peradaban manusia pada abad pertengahan. Kondisi tersebut melahirkan gerakan sekularisme yang berusaha memisahkan institusi negara dari institusi agama, antara negara dan gereja. Namun upaya sekularisasi tersebut hingga saat ini masih dihadapkan pada permasalahan-permasalahan krusial hubungan negara dan agama.
Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa wilayah kehidupan keagamaan dan wilayah kenegaraan memang dapat dan mudah dibedakan satu sama lain, namun tidak mudah untuk dipisahkan. Penyatuan antara kedaulatan Tuhan dengan kedaulatan Raja telah melahirkan pemerintahan absolut dan menyebabkan terjadinya kezaliman yang tidak berperikemanusiaan. Dalam dunia Islam, konsep yang merupakan penyatuan antara kedaulatan Tuhan dengan kedaulatan Raja terjadi pada saat:
a. konsep Khalifah al-Rasul yang rasional dan demokratis dimanipulasikan maknanya sehingga tunduk pada warisan sistem feodal tradisi kerajaan yang bersifat turun-temurun, dan
b. ketika perkataan “Khalifah al-Rasul” sebagai konsep politik disalah pahami dan dicampuradukkan pengertiannya dengan perkataan “Khalifah Allah” sebagai konsep filosofis.
Walaupun gerakan sekularisasi telah muncul bersamaan dengan masa pencerahan (renaissance), namun hingga saat ini pemisahan urusan agama dan soal-soal kenegaraan secara empiris benar-benar dapat dipisahkan. Sebab utamanya adalah para pengelola negara adalah manusia biasa yang terikat pada beberapa norma yang hidup dalam masyarakat, termasuk norma agama.
Negara dan agama, bahkan di negara sekuler sekalipun, tidak dapat dipisahkan begitu saja. Sebabnya ialah para pengelola negara adalah juga manusia biasa yang juga terikat dalam berbagai macam norma yang hidup dalam masyarakat, termasuk juga norma agama. Misalnya, meskipun negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Perancis dan Belanda adalah negara yang dipermaklumkan sebagai negara sekuler, tetapi banyak kasus menunjukkan bahwa keterlibatannya dalam urusan keagamaan terus berlangsung dalam sejarah.
Di satu segi, nilai-nilai keagamaan yang dianut oleh pribadi para penyelenggara negara turut mempengaruhi materi dan proses pengambilan keputusan di tingkat kenegaraan. Misalnya, Presiden George W. Bush ketika bereaksi terhadap peristiwa yang menimpa gedung kembar World Trade Center tanggal 11 September 2001, tanpa sadar mengaitkan upaya memerangi terorisme di balik peristiwa itu dengan perkataan “the second crusade” (perang suci kedua) setelah perang suci pertama yang dikenal dalam catatan sejarah di masa lampau antara kaum Muslimin dengan bangsa-bangsa Eropa yang beragama Nasrani.
Di pihak lain, negara dan kebijakan pemerintahan modern dalam sejarah juga tidak dapat melepaskan sama sekali keterikatan dan intervensinya ke dalam urusan-urusan keagamaan. Bahkan dalam masyarakat Amerika sekalipun yang diklaim sebagai masyarakat paling bebas dan paling demokratis, justru kegiatan kenegaraannya dapat dianggap paling dekat dan paling mencerminkan nilai-nilai keagamaan yang dianut penduduknya. Alexis de Tocqueville dalam buku Democracy in
America, menggambarkan bagaimana pengaruh agama sangat penting dalam politik Amerika, jauh lebih substantif dan bahkan sangat berbeda dari apa yang dilihatnya di Eropa.
Dalam konteks
Indonesia, karena salah satu nilai dasar negara adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka hukum negara harus mencerminkan esensi keadilan berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, yang diwujudkan melalui prinsip hirarki norma dan elaborasi norma. Sumber norma yang mencerminkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa itu dapat datang dari mana saja, termasuk misalnya dari sistem syari’at Islam ataupun nilai-nilai yang berasal dari tradisi Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucu. Pada saat nilai-nilai yang terkandung di dalamnya telah diadopsikan, maka sumber norma syari’at itu tidak perlu disebut lagi, karena namanya sudah menjadi hukum negara yang berlaku untuk umum.
Di sisi lain, hukum negara yang berpuncak pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak boleh bertentangan dengan keyakinan-keyakinan hukum atau keyakinan keagamaan segenap warga negara Indonesia yang menjadi subjek hukum yang diatur oleh Hukum Nasional Indonesia yang berdasarkan Pancasila itu. Sesuai prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, sudah dengan sendirinya tidak boleh ada hukum negara
Indonesia yang bertentangan dengan norma-norma agama yang diyakini oleh warga negara Indonesia sendiri.
Norma Hukum Nasional yang demikian itu berlaku umum untuk semua warga negara tanpa kecuali. Oleh sebab itu, nama atau sebutan bagi norma hukum yang bersifat nasional demikian itu tidak perlu disebut atau dikaitkan dengan nama norma suatu agama tertentu yang dapat menimbulkan kesalah pahaman yang justru dapat menimbulkan kesulitan dalam upaya menegakkan norma hukum itu dalam kenyataan. Sebutan resminya cukuplah sebagai Hukum Nasional Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Sedangkan isinya sangat boleh jadi atau memiliki potensi yang sangat kuat untuk bersumber dari esensi ajaran agama yang dianut oleh warga negara
Indonesia.
B. Landasan Konstitusional
Salah satu dasar negara
Indonesia adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena itu dikatakan bahwa Indonesia bukan negara agama, karena tidak berdasarkan agama tertentu, dan juga bukan negara sekuler karena tidak memisahkan secara tegas antara urusan negara dan urusan agama. Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, pertama-tama dirumuskan sebagai salah satu dasar kenegaraan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 “berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa””. Selain itu, kita juga menganut paham Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Hukum dalam satu kesatuan sistem konstitusional modern. Paham Ketuhanan Yang Maha Esa mengharuskan kita mengakui adanya ke-Maha Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Artinya, Tuhanlah yang sebenarnya berdaulat atas peri kehidupan kita seluruhnya. Namun kedaulatan Tuhan tersebut tidak mewujud kedalam kedaulatan Raja, melainkan mewujud dalam konsep kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum.
Pandangan ini sesuai dengan prinsip tauhid menurut ajaran agama Islam serta sejalan dengan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam ajaran tauhid, Tuhan dipahami sebagai Dzat yang Maha Esa, yang unique, tidak ada contoh dan yang menyamai-Nya dalam kehidupan (laisa kamitslihi syai-an). Ialah dzat yang suci dan mutlak. Hanya Allah saja yang bersifat Maha Kuasa, sedangkan makhluk-Nya bersifat nisbi atau relatif, lemah dan tidak berkuasa. Semua manusia sama kedudukannya diantara sesama, semuanya dha’if (lemah), tetapi sekaligus sama-sama kuat karena dianugerahi status oleh Allah sebagai bayangan atau pengganti-Nya di muka bumi (khalifatullah fil-ardh).
Keyakinan bahwa Allah itu Maha Esa dan Maha Kuasa menyebabkan berkembangnya doktrin persamaan kemanusiaan atau paham egalitarian dalam kehidupan bermasyarakat. Semuanya relatif atau nisbi, kecuali Tuhan semata yang bersifat Maha Kuasa dan Maha Mutlak. Di sisi lain, karena setiap manusia adalah Khalifah Allah, maka setiap manusia adalah pemimpin yang memiliki tanggung jawab. Itulah sebabnya diperlukan permusyawaratan antar manusia untuk mengambil keputusan mengenai kepentingan bersama. Musyawarah menjadi keharusan sosial yang sentral dalam kehidupan publik.
Berdasarkan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itulah maka setiap manusia
Indonesia seharusnya hanya memutlakkan Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai konsekuensinya, perikehidupan bangsa sudah seharusnya bersifat egaliter, di mana setiap orang dianggap sama hak dan kedudukannya di mata Tuhan, apalagi hak dan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan. Prinsip egalitarianisme ini hanya dapat berjalan jika dalam pembuatan keputusan dilakukan atas dasar musyawarah, serta terwujud dalam prosedur pemilihan atau bay-at terhadap wakil rakyat sebagai ulil-amri. Setelah ditetapkan melalui prosedur musyawarah, maka semua keputusan itu mengikat sebagai hukum yang harus ditempatkan menurut prinsip supremasi hukum. Inilah bentuk pelaksanaan dari Kedaulatan Tuhan yang diwujudkan dalam prinsip Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Hukum.
Proses permusyawaratan sekaligus merupakan ruang perumusan substansi hukum dari berbagai kelompok masyarakat. Masing-masing tentu dipengaruhi oleh norma-norma sosial lain, salah satunya adalah norma agama. Bahkan memperjuangkan norma agama menjadi hukum positif dapat dipahami sebagai perjuangan di jalan Tuhan. Dan ketikan keputusan sudah dibuat, maka hukum sebagai produknya harus diterima oleh semua pihak. Selain itu, juga mungkin dibuat aturan hukum yang berlaku khusus untuk suatu daerah tertentu atau kelompok masyarakat hukum tertentu. Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”. Sedangkan ayat (2) –nya menyatakan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang” Artinya UUD 1945 mengakui dan menghormati pluralisme hukum dalam masyarakat. Meskipun peradilan nasional bersifat terstruktur dalam kerangka sistem nasional, namun materi hukum yang dijadikan pegangan oleh para hakim dapat dikembangkan secara beragam. Apalagi mengingat kebijakan otonomi daerah yang memberikan ruang pada daerah untuk membentuk peraturan sesuai dengan kondisinya masing-masing, bahkan beberapa daerah memiliki status otonomi khusus seperti NAD dan Papua.
C. Syari’at Islam, Fiqh, dan Hukum Islam
Aktualisasi Islam di Indonesia sering dikaitkan secara keliru dengan pelaksanaan Syari’at Islam. Syari’at Islam itu memang harus dan wajib diberlakukan, dan bahkan sesungguhnya ia memang berlaku sampai kapanpun di kalangan umat Islam. Kedudukan Syari’at Islam tidak perlu diperjuangkan secara politik, karena dengan sendirinya sudah berlaku seiring dengan dianutnya ajaran Islam oleh sebagian besar penduduk
Indonesia. Syari’at Islam adalah jalan hidup yang berlaku bagi setiap orang yang mengimaninya. Syari’at Islam berlaku bagi setiap orang Islam, terlepas dari kenyataan ada atau tidak adanya negara. Syari’at agama menyangkut hukum tertinggi, yaitu keyakinan manusia akan kedaulatan Tuhan Yang Maha Kuasa atas dirinya, sedangkan urusan kenegaraan hanyalah sebagian kecil saja dari urusan manusia.
Syariat Islam tidak perlu dan tidak boleh direduksi maknanya sekedar menjadi persoalan internal institusi negara. Bahwa hukum negara harus mencerminkan esensi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, memang sudah seharusnya melalui prinsip hirarki norma dan elaborasi norma. Sumber norma yang mencerminkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa itu dapat datang dari mana saja, termasuk dari sistem syari’at Islam. Tetapi sekali nilai-nilai yang terkandung di dalamnya telah diadopsikan, maka sumber norma syari’at itu tidak perlu disebut lagi, karena namanya sudah menjadi hukum negara yang berlaku umum secara nasional. Namanya adalah hukum nasional berdasarkan Pancasila, meskipun isi dan esensinya adalah norma “Syari’at Islam”.
Dalam konsteks sistem hirarki norma, perlu dibedakan antara pengertian syari’at dengan fiqh dan dengan qanun. Logika sistem hirarki ini adalah hukum suatu negara berisi norma-norma yang terkandung di dalam syari’at agama-agama yang dianut oleh warga masyarakat. Sedangkan elaborasi norma adalah bahwa norma-norma yang tercermin dalam rumusan-rumusan hukum negara, haruslah merupakan penjabaran atau elaborasi normatif ajaran-ajaran syari’at agama yang diyakini oleh warga negara.
Pada periode pensyari’atannya (daur al-tasyri’), Syari’at Islam identik dengan wahyu Allah dalam al-Qur’an ditambah Sunnah Rasul. Keduanya berfungsi secara langsung sebagai Hukum. Tetapi pada periode kedua, yaitu periode ijtihad, Syari’at ini tidak lagi berfungsi sebagai hukum dalam arti bersifat langsung, melainkan berkembang menjadi sumber hukum. Sedangkan pengertian konkrit tentang hukum seperti dipahami sekarang adalah fiqh. Setelah itu, baru muncul periode ketiga, ketika pemberlakuan norma-norma hukum makin disadari perlunya dilegitimasikan oleh sistem kekuasaan negara.
Periode ketiga tersebut disebut sebagai periode pengundangan atau legislasi (daur al-taqnin). Pada periode ini yang diartikan sebagai hukum adalah qanun. Sesuai dengan prinsip elaborasi norma, Qanun Islam bersumber kepada Fiqh, dan Fiqh bersumber kepada Syariat. Sedangkan sesuai dengan prinsip hirarki norma, Qanun tentu tidak boleh bertentangan dengan Fiqh, dan Fiqh tidak boleh bertentangan dengan Syari’at.
Jika dikaitkan dengan Hukum Nasional Indonesia, maka qanun itu identik dengan hukum negara berupa peraturan perundang-undangan yang bersumber dan berpuncak pada UUD 1945. Sumber inspirasinya adalah segala norma yang berkembang dan dikembangkan dari dunia ilmu hukum atau “ilmu fiqh” yang tidak boleh bertentangan dengan keyakinan-keyakinan hukum atau keyakinan keagamaan segenap warga negara Indonesia yang menjadi subyek hukum yang diatur oleh hukum nasional tersebut. Sesuai dengan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan sendirinya tidak boleh ada hukum nasional yang bertentangan dengan norma-norma agama yang diyakini oleh warga negara
Indonesia.


D. Hukum Islam di
Indonesia
Hukum Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari ajaran agama Islam, masuk dan menjadi bagian dari norma masyarakat sejak masuknya ajaran Islam mulai abad I Hijriah atau abad 7-8 Miladiyah. Bahkan Ibnu Batutah, pengembara Arab asal Maroko yang pada tahun 1345 M singgah di Samudera Pasai sempat berjumpa dengan Sultan al-Malik al-Zahir yang sangat mahir dalam fiqh Mazhab Syafi’i. Pada masa VOC pernah diperkenalkan hukum Belanda dan dibentuk lembaga peradilan yang juga berlaku bagi bangsa
Indonesia. Namun upaya ini gagal dan akhirnya lembaga-lembaga yang hidup di masyarakat dibiarkan berjalan sebagaimana keadaan sebelumnya. Pada tahun 1760 diterbitkan Compendium Freijer yang menghimpun hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam yang berlaku di pengadilan untuk menyelesaikan sengketa di kalangan umat Islam. Hukum Islam sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat tetap diakui pada masa VOC mulai tahun 1602 hingga tahun 1800.
Berakhirnya kekuasaan VOC digantikan oleh pemerintahan kolonial Belanda. Pada masa kolonial Belanda, Hukum Islam mengalami pergeseran yang semakin melemah. Pada awalnya telah dibentuk Pengadilan Agama tahun 1882 yang wewenangnya meliputi masalah-masalah hukum perkawinan dan kewarisan berdasarkan hukum Islam. Hal ini diikuti oleh kesimpulan penilitian Willem Christian van den Berg yang menyatakan bahwa bangsa
Indonesia telah menerima sepenuhnya hukum Islam sebagai hukum yang mereka anut. Namun kesimpulan ini ditentang oleh Christian Snouck Hurgronje yang melontarkan teori resepsi. Teori resepsi ini memiliki pengaruh yang besar terhadap kebijakan pemerintahan kolonial Belanda. Pada tanggal 1 April 1937 diterbitkan ketentuan yang mencabut wewenang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura untuk menyelesaikan perkara kewarisan. Kedudukan Pengadilan Agama selanjutnya diletakkan di bawah pengawasan Pengadilan Negeri. Keputusan Pengadilan Agama hanya dapat dieksekusi jika telah mendapatkan persetujuan dari pengadilan negeri (executoire verklaring). Kebijakan hukum Islam ini berlanjut pada masa penjajahan Jepang.
Pada masa kemerdekaan aktualisasi hukum Islam mulai mendapatkan tempat dalam hukum nasional. Masalah dasar negara dan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi umat Islam merupakan salah satu masalah mendasar yang dibahas mulai dari perumusan UUD 1945 hingga perumusan konstitusi oleh Konstituante. Bahkan perdebatan pelaksanaan hukum Islam masih tetap berlanjut hingga saat ini.
Aktualisasi hukum Islam adalah bagian dari proses pembangunan hukum nasional. Aktualisasi hukum Islam dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu upaya pemberlakuan hukum Islam dengan pembentukan peraturan hukum tertentu yang berlaku khusus bagi umat Islam, dan upaya menjadikan Syari’at Islam dan Fiqh sebagai sumber hukum bagi penyusunan hukum nasional.
Aktualisasi hukum Islam dalam bentuk peraturan khusus yang berlaku bagi umat Islam misalnya adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama dan keberadaan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang penyebarluasannya dilakukan berdasarkan Inpres No. 1 Tahun 1991. Sedangkan aktualisasi hukum Islam dalam hukum nasional yang berlaku umum misalnya ada pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria khususnya yang mengatur tentang perwakafan tanah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Tentunya masih banyak produk hukum lain yang jika kita teliti akan menunjukkan aktualisasi hukum Islam sesuai dengan tingkat kesadaran hukum Islam masyarakat
Indonesia dan para pembuat peraturan perundang-undangan. Apalagi dengan adanya kebijakan otonomi daerah saat ini, tentu daerah-daerah dapat membuat peraturan daerah sebagai aktualisasi hukum yang hidup dalam masyarakat, khususnya hukum Islam.
Oleh karena itu, aktualisasi hukum Islam harus dilakukan secara sistemik dan dengan tindakan-tindakan nyata. Aktualisasi hukum Islam tidak cukup, bahkan akan merugikan, jika dilakukan sekedar sebagai aksi politik yang mengkampanyekan tuntutan pemberlakuan Syari’at Islam. Syari’at Islam, sebagaimana telah diuraikan, adalah jalan hidup yang menjadi sumber rujukan. Salah satu masalah yang dihadapi dalam upaya aktualisasi hukum Islam adalah belum adanya konsepsi yang jelas tentang materi hukum yang harus diaktualisasikan dalam hukum nasional, baik yang berlaku khusus bagi umat Islam maupun yang berlaku secara umum.
Agar proses aktualisasi hukum Islam dapat dilakukan dengan baik beberapa masalah yang harus diselesaikan adalah; pertama, harus terdapat kesadaran bahwa aktualisasi hukum Islam tidak dapat dilaksanakan hanya dengan pernyataan politik bahwa Syari’at Islam berlaku bagi umat Islam di Indonesia, sebab pernyataan ini adalah pengulangan tanpa makna. Walaupun tidak ada pengakuan negara, Syari’at Islam sebagai jalan hidup memang berlaku bagi umat Islam. Kedua, pembahasan pada tataran filsafat hukum Islam diperlukan untuk merumuskan prinsip-prinsip hukum sebagai acuan dalam pengembangan sistem hukum nasional secara keseluruhan. Ketiga, harus dilakukan pembahasan berdasarkan prinsip hirarki makna dan elaborasi Syari’at Islam dan kaidah fiqh untuk menentukan masalah-masalah hukum yang harus diatur dan ditegakkan oleh penguasa dan yang merupakan urusan pribadi umat Islam. Keempat, terhadap masalah-masalah hukum yang harus diatur dan ditegakkan oleh penguasa, harus dipilah-pilah mana yang berlaku khusus bagi umat Islam dan mana yang dapat diberlakukan secara umum sebagai hukum nasional yang tentu saja harus sesuai atau minimal tidak boleh bertentangan dengan norma dan kesadaran hukum masyarakat, termasuk norma agama.
Jika langkah-langkah tersebut telah dilakukan dan menghasilkan substansi aturan hukum yang bersumberkan pada Syari’at Islam dan kaidah fiqh, proses selanjutnya adalah memperjuangkannya dalam proses legislasi nasional dan daerah dan penegakkannya. Berdasarkan keyakinan bahwa Islam adalah agama yang mampu menyelesaikan persoalan umat manusia dan merupakan rahmat bagi keseluruhan alam, maka sudah seharusnya substansi aturan dalam konsepsi hukum Islam juga memberikan solusi dan rahmat bagi keseluruhan alam. Argumentasi inilah yang harus di kedepankan secara rasional dalam proses pembangunan sistem hukum nasional, bukan argumentasi ideologis dan jargon-jargon eklusif yang menimbulkan ketakutan pada kelompok-kelompok lain. Substansi nilai yang berasal dari sistem hukum Islam hendaklah dirumuskan dengan tepat dan disumbangkan secara produktif untuk kemanusiaan dan ke-Indonesiaan, terutama dalam upaya mewujudkan cita-cita negara hukum
Indonesia yang berdasarkan UUD 1945. Hanya perlu dicatat, sekali nilai dan substansi yang disumbangkan telah menjadi norma hukum yang diberlakukan secara konkrit dalam sistem hukum negara, maka norma-norma dimaksud berlaku umum bagi semua orang. Karena itu, penamaan simbolisnya sebagai hukum Islam tidak perlu disebut lagi. Dengan demikian cukuplah semua warga negara yang beragama Islam menyebutnya sebagai hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945

BAB III
KESIMPULAN
Secara singkat uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Reformulasi hukum Islam merupakan suatu keharusan dalam rangka perbaikan aplikasi hukum Islam yang mengarah kepada terwujudnya kemaslahaan umum. Disamping itu, reforlmulasi juga dibutuhkan dalam rangka mempertegas eksistensi dan peranan hukum Islam di Indonesia serta memperjelas posisinya dalam peta pemikiran Islam di Indonesia, khususnya, dan dalam pemikiran hukum secara umum.
2. Upaya reformulasi hukum Islam di era reformasi memiliki peluang yang cukup besar, disamping adanya suatu tuntutan, ternyata juga didukung oleh teori-teori hukum yang ada. Hambatan-hambatan yang ada kebanyakan hanya bersifat normatif-sosiologis yang bisa diatasi secara bertahap.
3. Hendaknya reformulasi hukum Islam tidak lagi hanya berfokus kepada pilihan materi hukum, melainkan secara tegas harus memberikan penekanan pada kepastian metodologi istinbath hukumnya.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Arkoun, Mohammed. ”Melampaui Pemikiran Dualitas: Aturan Hukum dan Masyarakat Madani dalam Konteks Muslim.” Tanwir: Jurnal Pemikiran Agama & Peradaban. Edisi Ke-2, Vol.1, No. 2. Juli 2003.
Kartodirdjo, Sartono. Pengantar Sejarah
Indonesia Baru (1500-1900); Dari Emporium Sampai Imperium. Jilid I. Jakarta: Gramedia, 1988.
Muttaqin, Dadan et. Al. (eds.). Peradilan Agama & Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum
Indonesia. Yogyakarta: UII Press, 1999.
Natsir, M. Agama dan Negara dalam Perspektif Islam.
Jakarta: Media Dakwah, 2001.
Taher, Elza Peldi (ed.). Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi.
Jakarta: Yayasan Paramadina, 1994.
Wahid, Marzuki & Rumadi. Fiqh Madzhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam Di Indonesia.
Yogyakarta: LKiS, 2001


MAKALAH ISLAM DAN PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL
BAB I
PENDAHULUAN

Salah satu agenda nasional yang sejak masa sebelum reformasi hingga saat ini banyak didengungkan adalah pembangunan hukum nasional, yang pasca era reformasi banyak disebut dengan istilah reformasi hukum nasional. Sebelum reformasi, pembangunan hukum nasional ditujukan terutama untuk melakukan perubahan berbagai aturan hukum produk kolonial yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman dan kebutuhan pembangunan. Sedangkan pada era reformasi, kebutuhan untuk melakukan reformasi hukum semakin kuat dengan adanya perubahan UUD 1945 yang cukup mendasar dan mencakup berbagai aspek sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman, terutama demokratisasi dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Kebutuhan tersebut semakin mendesak demi terwujudnya konsolidasi hukum sebagai suatu sistem yang banyak dilupakan karena euforia reformasi nasional.
Pembangunan hukum nasional tidak berada dalam ruang kosong. Paling tidak terdapat tiga lingkungan strategis yang mempengaruhinya, yaitu lingkungan internasional, lingkungan nasional, dan tuntutan lokal. Dalam tata pergaulan dunia, bangsa Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari perkembangan dan tuntutan internasional, misalnya untuk masalah-masalah demokratisasi, perlindungan HAM, lingkungan hidup, dan perkembangan ekonomi perdagangan internasional. Dalam lingkungan nasional, pembangunan hukum nasional tentu harus dilakukan secara koheren dengan politik hukum sesuai dengan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi. Selain itu, pembangunan hukum nasional juga dipengaruhi dan harus memperhatikan tuntutan dan kepentingan masyarakat lokal.
Sesuai dengan lingkungan yang mempengaruhi pembangunan hukum tersebut, materi hukum dapat disusun dan dibuat dengan mengambil dari nilai-nilai internasional yang bersifat universal, dan juga nilai-nilai masyarakat, baik itu nilai budaya maupun nilai agama. Bahkan, agar dapat benar-benar berlaku secara efektif, hukum yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai tersebut.
Nilai agama, adalah nilai yang sangat kuat dipegang dan dipatuhi oleh bangsa
Indonesia. Karena masyarakat Indonesia mayoritas memeluk agama Islam, maka sudah lazim jika Islam memiliki peran dan posisi tersendiri dalam pembangunan hukum nasional. Untuk menjelaskan bagaimana hubungan tersebut terlebih dahulu tentu harus didudukkan secara tepat bagaimana hubungan antara agama dengan negara di Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN
A. Hubungan Negara dan Agama
Dalam perkembangan peradaban manusia, agama senantiasa memiliki hubungan dengan negara. Hubungan agama dan negara mengalami pasang surut seiring dengan perkembangan pemahaman pemaknaan terhadap agama dan negara itu sendiri.
Ada suatu masa di mana negara sangat dekat dengan agama atau bahkan menjadi negara agama. Di saat lain, terdapat pula masa-masa agama mengalami ketegangan dengan negara.
Puncak hubungan antara negara dan agama terjadi ketika konsepsi Kedaulatan Tuhan dalam pelaksanaannya diwujudkan dalam diri Raja. Kedaulatan Tuhan (theocracy) dan Kedaulatan Raja berhimpit satu sama lain sehingga kekuasaan raja adalah absolut yang mengungkung peradaban manusia pada abad pertengahan. Kondisi tersebut melahirkan gerakan sekularisme yang berusaha memisahkan institusi negara dari institusi agama, antara negara dan gereja. Namun upaya sekularisasi tersebut hingga saat ini masih dihadapkan pada permasalahan-permasalahan krusial hubungan negara dan agama.
Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa wilayah kehidupan keagamaan dan wilayah kenegaraan memang dapat dan mudah dibedakan satu sama lain, namun tidak mudah untuk dipisahkan. Penyatuan antara kedaulatan Tuhan dengan kedaulatan Raja telah melahirkan pemerintahan absolut dan menyebabkan terjadinya kezaliman yang tidak berperikemanusiaan. Dalam dunia Islam, konsep yang merupakan penyatuan antara kedaulatan Tuhan dengan kedaulatan Raja terjadi pada saat:
a. konsep Khalifah al-Rasul yang rasional dan demokratis dimanipulasikan maknanya sehingga tunduk pada warisan sistem feodal tradisi kerajaan yang bersifat turun-temurun, dan
b. ketika perkataan “Khalifah al-Rasul” sebagai konsep politik disalah pahami dan dicampuradukkan pengertiannya dengan perkataan “Khalifah Allah” sebagai konsep filosofis.
Walaupun gerakan sekularisasi telah muncul bersamaan dengan masa pencerahan (renaissance), namun hingga saat ini pemisahan urusan agama dan soal-soal kenegaraan secara empiris benar-benar dapat dipisahkan. Sebab utamanya adalah para pengelola negara adalah manusia biasa yang terikat pada beberapa norma yang hidup dalam masyarakat, termasuk norma agama.
Negara dan agama, bahkan di negara sekuler sekalipun, tidak dapat dipisahkan begitu saja. Sebabnya ialah para pengelola negara adalah juga manusia biasa yang juga terikat dalam berbagai macam norma yang hidup dalam masyarakat, termasuk juga norma agama. Misalnya, meskipun negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Perancis dan Belanda adalah negara yang dipermaklumkan sebagai negara sekuler, tetapi banyak kasus menunjukkan bahwa keterlibatannya dalam urusan keagamaan terus berlangsung dalam sejarah.
Di satu segi, nilai-nilai keagamaan yang dianut oleh pribadi para penyelenggara negara turut mempengaruhi materi dan proses pengambilan keputusan di tingkat kenegaraan. Misalnya, Presiden George W. Bush ketika bereaksi terhadap peristiwa yang menimpa gedung kembar World Trade Center tanggal 11 September 2001, tanpa sadar mengaitkan upaya memerangi terorisme di balik peristiwa itu dengan perkataan “the second crusade” (perang suci kedua) setelah perang suci pertama yang dikenal dalam catatan sejarah di masa lampau antara kaum Muslimin dengan bangsa-bangsa Eropa yang beragama Nasrani.
Di pihak lain, negara dan kebijakan pemerintahan modern dalam sejarah juga tidak dapat melepaskan sama sekali keterikatan dan intervensinya ke dalam urusan-urusan keagamaan. Bahkan dalam masyarakat Amerika sekalipun yang diklaim sebagai masyarakat paling bebas dan paling demokratis, justru kegiatan kenegaraannya dapat dianggap paling dekat dan paling mencerminkan nilai-nilai keagamaan yang dianut penduduknya. Alexis de Tocqueville dalam buku Democracy in
America, menggambarkan bagaimana pengaruh agama sangat penting dalam politik Amerika, jauh lebih substantif dan bahkan sangat berbeda dari apa yang dilihatnya di Eropa.
Dalam konteks
Indonesia, karena salah satu nilai dasar negara adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka hukum negara harus mencerminkan esensi keadilan berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, yang diwujudkan melalui prinsip hirarki norma dan elaborasi norma. Sumber norma yang mencerminkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa itu dapat datang dari mana saja, termasuk misalnya dari sistem syari’at Islam ataupun nilai-nilai yang berasal dari tradisi Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucu. Pada saat nilai-nilai yang terkandung di dalamnya telah diadopsikan, maka sumber norma syari’at itu tidak perlu disebut lagi, karena namanya sudah menjadi hukum negara yang berlaku untuk umum.
Di sisi lain, hukum negara yang berpuncak pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak boleh bertentangan dengan keyakinan-keyakinan hukum atau keyakinan keagamaan segenap warga negara Indonesia yang menjadi subjek hukum yang diatur oleh Hukum Nasional Indonesia yang berdasarkan Pancasila itu. Sesuai prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, sudah dengan sendirinya tidak boleh ada hukum negara
Indonesia yang bertentangan dengan norma-norma agama yang diyakini oleh warga negara Indonesia sendiri.
Norma Hukum Nasional yang demikian itu berlaku umum untuk semua warga negara tanpa kecuali. Oleh sebab itu, nama atau sebutan bagi norma hukum yang bersifat nasional demikian itu tidak perlu disebut atau dikaitkan dengan nama norma suatu agama tertentu yang dapat menimbulkan kesalah pahaman yang justru dapat menimbulkan kesulitan dalam upaya menegakkan norma hukum itu dalam kenyataan. Sebutan resminya cukuplah sebagai Hukum Nasional Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Sedangkan isinya sangat boleh jadi atau memiliki potensi yang sangat kuat untuk bersumber dari esensi ajaran agama yang dianut oleh warga negara
Indonesia.
B. Landasan Konstitusional
Salah satu dasar negara
Indonesia adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena itu dikatakan bahwa Indonesia bukan negara agama, karena tidak berdasarkan agama tertentu, dan juga bukan negara sekuler karena tidak memisahkan secara tegas antara urusan negara dan urusan agama. Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, pertama-tama dirumuskan sebagai salah satu dasar kenegaraan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 “berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa””. Selain itu, kita juga menganut paham Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Hukum dalam satu kesatuan sistem konstitusional modern. Paham Ketuhanan Yang Maha Esa mengharuskan kita mengakui adanya ke-Maha Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Artinya, Tuhanlah yang sebenarnya berdaulat atas peri kehidupan kita seluruhnya. Namun kedaulatan Tuhan tersebut tidak mewujud kedalam kedaulatan Raja, melainkan mewujud dalam konsep kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum.
Pandangan ini sesuai dengan prinsip tauhid menurut ajaran agama Islam serta sejalan dengan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam ajaran tauhid, Tuhan dipahami sebagai Dzat yang Maha Esa, yang unique, tidak ada contoh dan yang menyamai-Nya dalam kehidupan (laisa kamitslihi syai-an). Ialah dzat yang suci dan mutlak. Hanya Allah saja yang bersifat Maha Kuasa, sedangkan makhluk-Nya bersifat nisbi atau relatif, lemah dan tidak berkuasa. Semua manusia sama kedudukannya diantara sesama, semuanya dha’if (lemah), tetapi sekaligus sama-sama kuat karena dianugerahi status oleh Allah sebagai bayangan atau pengganti-Nya di muka bumi (khalifatullah fil-ardh).
Keyakinan bahwa Allah itu Maha Esa dan Maha Kuasa menyebabkan berkembangnya doktrin persamaan kemanusiaan atau paham egalitarian dalam kehidupan bermasyarakat. Semuanya relatif atau nisbi, kecuali Tuhan semata yang bersifat Maha Kuasa dan Maha Mutlak. Di sisi lain, karena setiap manusia adalah Khalifah Allah, maka setiap manusia adalah pemimpin yang memiliki tanggung jawab. Itulah sebabnya diperlukan permusyawaratan antar manusia untuk mengambil keputusan mengenai kepentingan bersama. Musyawarah menjadi keharusan sosial yang sentral dalam kehidupan publik.
Berdasarkan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itulah maka setiap manusia
Indonesia seharusnya hanya memutlakkan Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai konsekuensinya, perikehidupan bangsa sudah seharusnya bersifat egaliter, di mana setiap orang dianggap sama hak dan kedudukannya di mata Tuhan, apalagi hak dan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan. Prinsip egalitarianisme ini hanya dapat berjalan jika dalam pembuatan keputusan dilakukan atas dasar musyawarah, serta terwujud dalam prosedur pemilihan atau bay-at terhadap wakil rakyat sebagai ulil-amri. Setelah ditetapkan melalui prosedur musyawarah, maka semua keputusan itu mengikat sebagai hukum yang harus ditempatkan menurut prinsip supremasi hukum. Inilah bentuk pelaksanaan dari Kedaulatan Tuhan yang diwujudkan dalam prinsip Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Hukum.
Proses permusyawaratan sekaligus merupakan ruang perumusan substansi hukum dari berbagai kelompok masyarakat. Masing-masing tentu dipengaruhi oleh norma-norma sosial lain, salah satunya adalah norma agama. Bahkan memperjuangkan norma agama menjadi hukum positif dapat dipahami sebagai perjuangan di jalan Tuhan. Dan ketikan keputusan sudah dibuat, maka hukum sebagai produknya harus diterima oleh semua pihak. Selain itu, juga mungkin dibuat aturan hukum yang berlaku khusus untuk suatu daerah tertentu atau kelompok masyarakat hukum tertentu. Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”. Sedangkan ayat (2) –nya menyatakan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang” Artinya UUD 1945 mengakui dan menghormati pluralisme hukum dalam masyarakat. Meskipun peradilan nasional bersifat terstruktur dalam kerangka sistem nasional, namun materi hukum yang dijadikan pegangan oleh para hakim dapat dikembangkan secara beragam. Apalagi mengingat kebijakan otonomi daerah yang memberikan ruang pada daerah untuk membentuk peraturan sesuai dengan kondisinya masing-masing, bahkan beberapa daerah memiliki status otonomi khusus seperti NAD dan Papua.
C. Syari’at Islam, Fiqh, dan Hukum Islam
Aktualisasi Islam di Indonesia sering dikaitkan secara keliru dengan pelaksanaan Syari’at Islam. Syari’at Islam itu memang harus dan wajib diberlakukan, dan bahkan sesungguhnya ia memang berlaku sampai kapanpun di kalangan umat Islam. Kedudukan Syari’at Islam tidak perlu diperjuangkan secara politik, karena dengan sendirinya sudah berlaku seiring dengan dianutnya ajaran Islam oleh sebagian besar penduduk
Indonesia. Syari’at Islam adalah jalan hidup yang berlaku bagi setiap orang yang mengimaninya. Syari’at Islam berlaku bagi setiap orang Islam, terlepas dari kenyataan ada atau tidak adanya negara. Syari’at agama menyangkut hukum tertinggi, yaitu keyakinan manusia akan kedaulatan Tuhan Yang Maha Kuasa atas dirinya, sedangkan urusan kenegaraan hanyalah sebagian kecil saja dari urusan manusia.
Syariat Islam tidak perlu dan tidak boleh direduksi maknanya sekedar menjadi persoalan internal institusi negara. Bahwa hukum negara harus mencerminkan esensi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, memang sudah seharusnya melalui prinsip hirarki norma dan elaborasi norma. Sumber norma yang mencerminkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa itu dapat datang dari mana saja, termasuk dari sistem syari’at Islam. Tetapi sekali nilai-nilai yang terkandung di dalamnya telah diadopsikan, maka sumber norma syari’at itu tidak perlu disebut lagi, karena namanya sudah menjadi hukum negara yang berlaku umum secara nasional. Namanya adalah hukum nasional berdasarkan Pancasila, meskipun isi dan esensinya adalah norma “Syari’at Islam”.
Dalam konsteks sistem hirarki norma, perlu dibedakan antara pengertian syari’at dengan fiqh dan dengan qanun. Logika sistem hirarki ini adalah hukum suatu negara berisi norma-norma yang terkandung di dalam syari’at agama-agama yang dianut oleh warga masyarakat. Sedangkan elaborasi norma adalah bahwa norma-norma yang tercermin dalam rumusan-rumusan hukum negara, haruslah merupakan penjabaran atau elaborasi normatif ajaran-ajaran syari’at agama yang diyakini oleh warga negara.
Pada periode pensyari’atannya (daur al-tasyri’), Syari’at Islam identik dengan wahyu Allah dalam al-Qur’an ditambah Sunnah Rasul. Keduanya berfungsi secara langsung sebagai Hukum. Tetapi pada periode kedua, yaitu periode ijtihad, Syari’at ini tidak lagi berfungsi sebagai hukum dalam arti bersifat langsung, melainkan berkembang menjadi sumber hukum. Sedangkan pengertian konkrit tentang hukum seperti dipahami sekarang adalah fiqh. Setelah itu, baru muncul periode ketiga, ketika pemberlakuan norma-norma hukum makin disadari perlunya dilegitimasikan oleh sistem kekuasaan negara.
Periode ketiga tersebut disebut sebagai periode pengundangan atau legislasi (daur al-taqnin). Pada periode ini yang diartikan sebagai hukum adalah qanun. Sesuai dengan prinsip elaborasi norma, Qanun Islam bersumber kepada Fiqh, dan Fiqh bersumber kepada Syariat. Sedangkan sesuai dengan prinsip hirarki norma, Qanun tentu tidak boleh bertentangan dengan Fiqh, dan Fiqh tidak boleh bertentangan dengan Syari’at.
Jika dikaitkan dengan Hukum Nasional Indonesia, maka qanun itu identik dengan hukum negara berupa peraturan perundang-undangan yang bersumber dan berpuncak pada UUD 1945. Sumber inspirasinya adalah segala norma yang berkembang dan dikembangkan dari dunia ilmu hukum atau “ilmu fiqh” yang tidak boleh bertentangan dengan keyakinan-keyakinan hukum atau keyakinan keagamaan segenap warga negara Indonesia yang menjadi subyek hukum yang diatur oleh hukum nasional tersebut. Sesuai dengan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan sendirinya tidak boleh ada hukum nasional yang bertentangan dengan norma-norma agama yang diyakini oleh warga negara
Indonesia.


D. Hukum Islam di
Indonesia
Hukum Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari ajaran agama Islam, masuk dan menjadi bagian dari norma masyarakat sejak masuknya ajaran Islam mulai abad I Hijriah atau abad 7-8 Miladiyah. Bahkan Ibnu Batutah, pengembara Arab asal Maroko yang pada tahun 1345 M singgah di Samudera Pasai sempat berjumpa dengan Sultan al-Malik al-Zahir yang sangat mahir dalam fiqh Mazhab Syafi’i. Pada masa VOC pernah diperkenalkan hukum Belanda dan dibentuk lembaga peradilan yang juga berlaku bagi bangsa
Indonesia. Namun upaya ini gagal dan akhirnya lembaga-lembaga yang hidup di masyarakat dibiarkan berjalan sebagaimana keadaan sebelumnya. Pada tahun 1760 diterbitkan Compendium Freijer yang menghimpun hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam yang berlaku di pengadilan untuk menyelesaikan sengketa di kalangan umat Islam. Hukum Islam sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat tetap diakui pada masa VOC mulai tahun 1602 hingga tahun 1800.
Berakhirnya kekuasaan VOC digantikan oleh pemerintahan kolonial Belanda. Pada masa kolonial Belanda, Hukum Islam mengalami pergeseran yang semakin melemah. Pada awalnya telah dibentuk Pengadilan Agama tahun 1882 yang wewenangnya meliputi masalah-masalah hukum perkawinan dan kewarisan berdasarkan hukum Islam. Hal ini diikuti oleh kesimpulan penilitian Willem Christian van den Berg yang menyatakan bahwa bangsa
Indonesia telah menerima sepenuhnya hukum Islam sebagai hukum yang mereka anut. Namun kesimpulan ini ditentang oleh Christian Snouck Hurgronje yang melontarkan teori resepsi. Teori resepsi ini memiliki pengaruh yang besar terhadap kebijakan pemerintahan kolonial Belanda. Pada tanggal 1 April 1937 diterbitkan ketentuan yang mencabut wewenang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura untuk menyelesaikan perkara kewarisan. Kedudukan Pengadilan Agama selanjutnya diletakkan di bawah pengawasan Pengadilan Negeri. Keputusan Pengadilan Agama hanya dapat dieksekusi jika telah mendapatkan persetujuan dari pengadilan negeri (executoire verklaring). Kebijakan hukum Islam ini berlanjut pada masa penjajahan Jepang.
Pada masa kemerdekaan aktualisasi hukum Islam mulai mendapatkan tempat dalam hukum nasional. Masalah dasar negara dan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi umat Islam merupakan salah satu masalah mendasar yang dibahas mulai dari perumusan UUD 1945 hingga perumusan konstitusi oleh Konstituante. Bahkan perdebatan pelaksanaan hukum Islam masih tetap berlanjut hingga saat ini.
Aktualisasi hukum Islam adalah bagian dari proses pembangunan hukum nasional. Aktualisasi hukum Islam dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu upaya pemberlakuan hukum Islam dengan pembentukan peraturan hukum tertentu yang berlaku khusus bagi umat Islam, dan upaya menjadikan Syari’at Islam dan Fiqh sebagai sumber hukum bagi penyusunan hukum nasional.
Aktualisasi hukum Islam dalam bentuk peraturan khusus yang berlaku bagi umat Islam misalnya adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama dan keberadaan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang penyebarluasannya dilakukan berdasarkan Inpres No. 1 Tahun 1991. Sedangkan aktualisasi hukum Islam dalam hukum nasional yang berlaku umum misalnya ada pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria khususnya yang mengatur tentang perwakafan tanah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Tentunya masih banyak produk hukum lain yang jika kita teliti akan menunjukkan aktualisasi hukum Islam sesuai dengan tingkat kesadaran hukum Islam masyarakat
Indonesia dan para pembuat peraturan perundang-undangan. Apalagi dengan adanya kebijakan otonomi daerah saat ini, tentu daerah-daerah dapat membuat peraturan daerah sebagai aktualisasi hukum yang hidup dalam masyarakat, khususnya hukum Islam.
Oleh karena itu, aktualisasi hukum Islam harus dilakukan secara sistemik dan dengan tindakan-tindakan nyata. Aktualisasi hukum Islam tidak cukup, bahkan akan merugikan, jika dilakukan sekedar sebagai aksi politik yang mengkampanyekan tuntutan pemberlakuan Syari’at Islam. Syari’at Islam, sebagaimana telah diuraikan, adalah jalan hidup yang menjadi sumber rujukan. Salah satu masalah yang dihadapi dalam upaya aktualisasi hukum Islam adalah belum adanya konsepsi yang jelas tentang materi hukum yang harus diaktualisasikan dalam hukum nasional, baik yang berlaku khusus bagi umat Islam maupun yang berlaku secara umum.
Agar proses aktualisasi hukum Islam dapat dilakukan dengan baik beberapa masalah yang harus diselesaikan adalah; pertama, harus terdapat kesadaran bahwa aktualisasi hukum Islam tidak dapat dilaksanakan hanya dengan pernyataan politik bahwa Syari’at Islam berlaku bagi umat Islam di Indonesia, sebab pernyataan ini adalah pengulangan tanpa makna. Walaupun tidak ada pengakuan negara, Syari’at Islam sebagai jalan hidup memang berlaku bagi umat Islam. Kedua, pembahasan pada tataran filsafat hukum Islam diperlukan untuk merumuskan prinsip-prinsip hukum sebagai acuan dalam pengembangan sistem hukum nasional secara keseluruhan. Ketiga, harus dilakukan pembahasan berdasarkan prinsip hirarki makna dan elaborasi Syari’at Islam dan kaidah fiqh untuk menentukan masalah-masalah hukum yang harus diatur dan ditegakkan oleh penguasa dan yang merupakan urusan pribadi umat Islam. Keempat, terhadap masalah-masalah hukum yang harus diatur dan ditegakkan oleh penguasa, harus dipilah-pilah mana yang berlaku khusus bagi umat Islam dan mana yang dapat diberlakukan secara umum sebagai hukum nasional yang tentu saja harus sesuai atau minimal tidak boleh bertentangan dengan norma dan kesadaran hukum masyarakat, termasuk norma agama.
Jika langkah-langkah tersebut telah dilakukan dan menghasilkan substansi aturan hukum yang bersumberkan pada Syari’at Islam dan kaidah fiqh, proses selanjutnya adalah memperjuangkannya dalam proses legislasi nasional dan daerah dan penegakkannya. Berdasarkan keyakinan bahwa Islam adalah agama yang mampu menyelesaikan persoalan umat manusia dan merupakan rahmat bagi keseluruhan alam, maka sudah seharusnya substansi aturan dalam konsepsi hukum Islam juga memberikan solusi dan rahmat bagi keseluruhan alam. Argumentasi inilah yang harus di kedepankan secara rasional dalam proses pembangunan sistem hukum nasional, bukan argumentasi ideologis dan jargon-jargon eklusif yang menimbulkan ketakutan pada kelompok-kelompok lain. Substansi nilai yang berasal dari sistem hukum Islam hendaklah dirumuskan dengan tepat dan disumbangkan secara produktif untuk kemanusiaan dan ke-Indonesiaan, terutama dalam upaya mewujudkan cita-cita negara hukum
Indonesia yang berdasarkan UUD 1945. Hanya perlu dicatat, sekali nilai dan substansi yang disumbangkan telah menjadi norma hukum yang diberlakukan secara konkrit dalam sistem hukum negara, maka norma-norma dimaksud berlaku umum bagi semua orang. Karena itu, penamaan simbolisnya sebagai hukum Islam tidak perlu disebut lagi. Dengan demikian cukuplah semua warga negara yang beragama Islam menyebutnya sebagai hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

BAB III
KESIMPULAN
Secara singkat uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Reformulasi hukum Islam merupakan suatu keharusan dalam rangka perbaikan aplikasi hukum Islam yang mengarah kepada terwujudnya kemaslahaan umum. Disamping itu, reforlmulasi juga dibutuhkan dalam rangka mempertegas eksistensi dan peranan hukum Islam di Indonesia serta memperjelas posisinya dalam peta pemikiran Islam di Indonesia, khususnya, dan dalam pemikiran hukum secara umum.
2. Upaya reformulasi hukum Islam di era reformasi memiliki peluang yang cukup besar, disamping adanya suatu tuntutan, ternyata juga didukung oleh teori-teori hukum yang ada. Hambatan-hambatan yang ada kebanyakan hanya bersifat normatif-sosiologis yang bisa diatasi secara bertahap.
3. Hendaknya reformulasi hukum Islam tidak lagi hanya berfokus kepada pilihan materi hukum, melainkan secara tegas harus memberikan penekanan pada kepastian metodologi istinbath hukumnya.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Arkoun, Mohammed. ”Melampaui Pemikiran Dualitas: Aturan Hukum dan Masyarakat Madani dalam Konteks Muslim.” Tanwir: Jurnal Pemikiran Agama & Peradaban. Edisi Ke-2, Vol.1, No. 2. Juli 2003.
Kartodirdjo, Sartono. Pengantar Sejarah
Indonesia Baru (1500-1900); Dari Emporium Sampai Imperium. Jilid I. Jakarta: Gramedia, 1988.
Muttaqin, Dadan et. Al. (eds.). Peradilan Agama & Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum
Indonesia. Yogyakarta: UII Press, 1999.
Natsir, M. Agama dan Negara dalam Perspektif Islam.
Jakarta: Media Dakwah, 2001.
Taher, Elza Peldi (ed.). Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi.
Jakarta: Yayasan Paramadina, 1994.
Wahid, Marzuki & Rumadi. Fiqh Madzhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam Di Indonesia.
Yogyakarta: LKiS, 2001





BUDAYA HUKUM


Abstrak :

Budaya hukum merupakan sub sistem hukum yang berpengaruh terhadap sub sistem lainnya. Inti budaya hukum adalah gagasan, sikap, pandangan dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum yang bersumber dari nilai-nilai yang dianut masyarakat. Supaya operasional nilai-nilai hukum sebagai suatu konsepsi yang abstrak dalam pelaksanaannya harus dijabarkan ke dalam asas dan asas harus pula diwujudkan ke dalam norma hukum yang merupakan batasan, patokan atau pedoman bagi warga masyarakat untuk berperilaku/bersikap tindak. Keragaman yang terdapat pada masyarakat Indonesia mengakibatkan keragaman budaya hukum yang dianut oleh masing-masing kelompok masyarakat yang bersangkutan. Akibatnya timbul beberapa gejala negatif antara lain adanya kecenderungan kuat suatu kelompok atau golongan profesi tertentu melindungi anggota kelompok atau golongannya apabila yang bersangkutan melakukan pelanggaran hukum, yang pada akhirnya mengakibatkan tidak efektifnya hukum.
Kata Kunci : Sistem Hukum, Nilai, Asas, Norma, Perilaku/Sikap tindak.


Pengantar
Hukum merupakan suatu sistem, artinya hukum itu merupakan suatu keseluruhan yang terdiri atas beberapa bagian (sub sistem) dan antara bagian-bagian itu saling berhubungan dan tidak boleh bertentangan satu sama lainnya. Bagian atau sub sistem dari hukum itu terdiri dari :
a. Struktur Hukum, yang merupakan lembaga-lembaga hukum seperti kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, Kepengacaraan, dan lain-lain;
b. Substansi hukum, yang merupakan perundang-undangan seperti Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Daerah;
c. Budaya hukum, yang merupakan gagasan, sikap, kepercayaan, pandangan-pandangan mengenai hukum, yang intinya bersumber pada nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Adalah
Ketiga sub sistem tersebut di atas tidak dapat dipisah-pisahkan dan tidak boleh bertentangan satu sama lainnya. Ketiganya merupakan suatu kesatuan yang saling berkait dan saling menopang sehingga pada akhirnya mengarah kepada tujuan (hukum) yaitu kedamaian. Uraian berikut ini tidak akan membicarakan ketiga sub sistem itu, melainkan hanya akan membahas sub sistem budaya hukum yang pada hakikatnya berisi nilai-nilai.
Masyarakat
Indonesia adalah masyarakat yang majemuk yaitu masyarakat yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa (etnis), memiliki berbagai agama, mengunakan bahasa masing-masing (bahasa daerah), serta memiliki adapt istiadat yang beraneka ragam. Di samping itu karena kemajuan ilmu dan teknologi, masyarakat Indonesia memiliki keahlian dan eterampilan khusus yang lazimnya disebut golongan profesi. Akibatnya di dalam masyarakt Indonesia terdapat kebudayaan nasional, tetapi sekaligus juga ada budaya khusus sesuai dengan kemajemukan serta golongan profesi seperti disebutkan di atas. Budya khusus tadi berhubungan dengan budaya hukum. Dengan demikian setiap kelompok etnis dan golongan profesi memiliki budaya hukum tersendiri pula. Budaya hukum khusus tersebut memiliki pengaruh terhadap penegakkan hukum di Indonesia.

Nilai-Nilai Hukum
Nilai merupakan konsepsi abstrak tentang sesuatu yang dianggap baik sehingga dianut/diturut atau sesuatu yang dianggap buruk sehingga dihindari. Sesuatu yang dianggap baik oleh manusia mungkin menyenangkan, memenuhi keinginan, atau dianggap penting. Oleh sebab itulah nilai merupakan suatu penggerak manusia untuk berprilaku atau bersikap tindak tertentu dalam usaha memnuhi keinginan, kesenangan, atau kepentingannya. Namun demikian dalam merealisasikan sesuatu yang dianggap baik itu tidak boleh menyebabkan tidak enak bagi pihak lain. Dengan demikian nilai dalam hukum itu selalu berpasang-pasangan, satu nilai tidak berdiri sendiri, ia dibatasi oleh nilai pasangannya. Sebagai contoh kebebasan itu dianggap baik oleh seseorang, akan tetapi kebebasan itu tidak boleh mengganggu kebebasan orang lain. Kebebasan itu dibatasi oleh ketertiban sehingga kebebasan orang lain juga terjamin. Berikut ini akan diberikan beberapa contoh nilai-nilai hukum antara lain yaitu :
d. Kebebasan- Ketertiban
e. Kepastian Hukum – Kesebandingan Hukum
f. Proteksi Hukum – Restriksi Hukum
g. Konservatisme – Inovatisme
h. Kolektivisme – Individualisme
i. Ketaatan Hukum – Keluwesan Hukum
Nilai-nilai tersebut di atas sering bertegangan atau saling mendesak, sehingga timbul ketegangan nilai. Hal lain dapat terjadi bila kebebasan terlalu tinggi sehingga ketertiban tidak terjamin. Atau sebaliknya ketertiban yang diterapkan penguasa terlalu tinggi, sehingga menekan kebebasan orang. Gejala ini terlihat dari adanya unjuk rasa, pemberontakan separatisme, dan lain-lain. Ketegangan nilai dapat dikurangi atau dihilangkan dengan memperkecil nilai yang mendesak dan dengan sendirinya memperbesar nilai yang terdesak. Bila nilai yang berpasang-pasangan itu tidak berada dalama posisi saling mendesak atau bertegangan maka nilai tersebut dinamakan serasi (harmonis). Nilai yang berada dalam keadaan yang serasi itu merupakan keadaan yang inin dicapai oleh hukum. Dengan perkataan lain keserasian itu adalah tujuan hukum.

Perwujudan Nilai Nilai Hukum
Nilai-nilai hukum masih sangat abstrak dan belum opersional. Padahal hukum menghendaki hal yang konkret dan opersional (sudah dapat diterapkan). Agar nilai itu opersional, ia harus diwujudkan terlebih dahulu dalam asas hukum (Rechtsbeginsel, Priciple of Law). Asas hukum itu sendiri bukanlah norma hukum, ia belum opersional, artinya ia belum dapat diterapkan pada kasus konkret .Dengan demikian bila terjadi pelanggaran terhadap nilai dan asas hukum, si pelanggar belum dapat ditindak dan dihukum. Agar nilai dan asas hukum itu opersional, ia terlebih dahulu harus diwujudkan dan diberi bentuk norma hukum. Dengan demikian norma hukum itu haruslah berdasarkan atau tidak boleh bertentangan dengan nilai dan asas hukum. Norma hukum yang tidak berdasarkan pada nilai dan asas hukum adalah sewenang-wenang dan menurut pangang teori hukum alam, norma hukum yang demikian tidak memiliki keabsahan (legitimasi). Proses perwujudan nilai dan asas hukumhukum ke dalam norma hukum dinamakan penyataan norma hukum (beslissing) yang berupa norma abstrak yang berlaku umum seperti Undang-Undang, atau norma konkret yang berlaku khusus seperti penetapan (beschikking) .
Norma abstrak yang berlaku umum atau perundang-undangan selanjutnya menjadi dasar atau landasan dari sikap tindak atau perilaku. Dengan perkataan lain sikap tindak atau perilaku haruslah sesuai atau tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan. Sikap tindak atau perilaku yang bertentangan dengan perundang-undangan tersebut dapat berupa :
a. bertindak melebihi kekuasaan (excess de pouvoir) di bidang Hukum Tata Negara;
b. bertindak menyalahgunakan kekuasaan (detournement de pouvoir) di bidang Hukum Administrasi Negara;
c. penyelewengan perdata (onrechtsmatigedaad) di bidang hukum perdata;
d. tindak pidana (delic, strafbaarfeit) di bidang hukum pidana
Hubungan antara nilai, asas, norma, dan sikap tindak atau perilaku sebagaimana telah diuraikan di atas dapat digambarkan dalam “stufenbau hukum” sebagai berikut :

Catatan :
Tanda ( ) menunjukkan bahwa bagian yang ditunjuk oleh panah tersebut adalah dasar atau landasan bagi yang berada di bawahnya.

Apabila keempat komponen tersebut (nilai, asas, norma dan sikap tindak) tidak bertentangan satu sama lainnya, maka terjadilah penegakkan hukum. Sebaliknya apabila sikap tindak/perilaku bertentangan dengan noram atau norma bertentangan dengan asas atau asas bertentangan dengan nilai, maka hukum menjadi tidak tegak. Sikap tindak atau perilaku merupakan penjabaran nilai pada tahap akhir.


Gejala Negatif Budaya Hukum Lokal
Masyarakat
Indonesia terbentuk dari berbagai etnis (sub-bangsa) yang menganut berbagai agama dan kepercayaan dan menggunakan berbagai bahasa. Di samping itu pada masyarakat Indonesia terdapat berbagai golongan profesi yang memiliki keahlian atau keterampilan khusus. Setiap etnis dan golongan profesi memilik budaya yang khusus . Dengan demikian setiap etnis dan golongan profesi memiliki nilai yang khusus pula. Apa yang dimaksud ketertiban pada etnis atau golongan profesi tertentu mungkin berbeda pengertiannya bagi etnis dan golongan profesi lainnya. Konsepsi nilai yang dianut oleh suatu etnis tertentu atau golongan tertentu mungkin berbeda dengan konsepsi nilai yang yang dianut secara nasional. Konsepsi nilai ketertiban-kebebasan yang dianut oleh golongan Islam akan berbeda dengan konsepsi nilai secara nasional. Jika konsepsi pasangan nilai dari dua golongan di atas diterapkan pada kasus judi dan minuman keras, mungkin yang terjadi adalah bahwa golongan Islam akan lebih mengutamakan nilai ketertiban dengan kebebasan agak kecil. Sebaliknya konsepsi nilai secara nasional lebih mengutamakan kebebasan dengan ketertiban agak kecil. Uraian di atas dapat dilustrasikan secara hipotetis sebagai berikut :
Demikian juga halnya jika terjadi pelanggaran hukum oleh golongan tertentu, dimana penegak hukumnya berasal dari golongan yang sama dengan si pelanggar, maka ada kecenderunan kuat bagi penegak hukum tersebut untuk memberi toleransi terhadap pelanggaran tersebut. Misalnya terdapat kecenderungan kuat penduduk negara-negara Islam untuk memberikan perlindungan terhadap para “teroris” al-Qaeda yang sedang dicari oleh Amerika. Di samping itu gejala negatif yang timbul dari perbedaan konsepsi nilai sebagaimana diuraikan di atas ialah antipati terhadap golongan tertentu, apalagi jika golongan atau kelompok tertentu agama atau kepercayaan yang berbeda dengan mereka yang menguasai sumber daya tertentu. Adanya perbuatan tertentu yang kurang signifikan sudah bisa dijadikan alas an untuk menindak atau mengadakan aksi bersama dalam rangka “menghukum” si pelanggar.
Hal lain yang timbul dari perbedaan konsepsi nilai dari golongan profesi ialah kekebalan institusional. Berikut akan ditinjau sepintas golongan yang berkecimpung dalam proses hukum yaitu :
a. Hakim
b. Jaksa
c. Polisi
d. Petugas Pemasyarakatan
e. Penasihat Hukum
f. Notaris
g. Pemerintah
Masing-masing profesi tersebut di atas memiliki nilai yang kemudian diwujudkan dalam kode etik profesi. Jika terjadi pelanggaran hukum dari salah satu golongan tersebut ada kecenderungan kelompok itu untuk melindungi anggotanya yang melanggar. Apalagi hanya golongan mereka yang memiliki kemampuan untuk memeriksa apakah telah terjadi pelanggaran profesi atau tidak. Akibat yang timbul ialah sangat sulit untuk menindak anggota suatu golongan yang diduga telah melakukan pelanggaran.

Penutup
Budaya hukum adalah bagian atau sub sistem dari sistem hukum, yang berhubungan dengan gagasan, sikap, kepercayaan, harapan-harapan, maupun pandangan-pandangan tentang hukum yang berisikan pada nilai-nilai. Nilai-nilai hukum merupakan konsepsi abstrak tentang sesuatu yang dianggap baik atau buruk menjadi dasar hukum yang berbeda-beda satu sama lainnya. Konsepsi nilai masing-masing etnis dan golongan dapat menimbulkan gejala negatif dalam proses penegakan hukum yang pada akhirnya menyebabkan hukum menjadi tidak efektif atau tidak tercapai tujuan.

Daftar Bacaan
Abdullah, Mustafa, Budaya Hukum di Era Reformasi, Ceramah Ilmiah di depan civitas akdemika dan wisudawan Universitas Batanghari,2005, Jambi.
Purbacaraka, Purnadi dan Soekanto, Soerjono, 1991, Ikhtisar Antinomi, Rajawali,
Jakarta.
Purbacaraka, Purnadi, Peranan Ilmu Hukum dalam Pembangunan Indonesia, Makalah Pada Simposium Peranan Ilmu Hukum Dalam Pembangunan Indonesia, Lustrum VI Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 17 November 1984, Surabaya.
Soekanto, Soerjono, Peranan Ilmu Hukum dalam Pembangunan Indonesia, Makalah Pada Simposium Peranan Ilmu Hukum Dalam Pembangunan Indonesia, Lustrum VI Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 17 November 1984, Surabaya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

KORUPSI ditinjau dari teori fungsional struktural

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut UU. No 20 tahun 2001 Jo UU No. 31 tahun 1999, Korupsi didefinisikan sebagai tindakan melawan hukum dengan menyalahgunakan kewenangan/kesempatan/sarana yang ada pada seseorang karena jabatan/kedudukannya untuk memperkaya diri sendiri/orang lain/korporasi sehingga merugikan negara. Banyak penelitian membahas dan memberikan definisi mengenai korupsi dari berbagai sudut pandang sebagian besar definisi tersebut dititik beratkan pada perilaku.Korupsi yang mana menjadi salah satu hambatan terburuk dalam pembangunan suatu bangsa, korupsi sangat dinikmati oleh orang- orang kaya tetapi sangat menyengsarakan bagi orang-orang miskin dan korupsi merupakan hambatan terbesar untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi dalam sebuah masyarakat atau negara.Dan rentan sekali menambah kemelaratan warga Negara Indonesia. Terjadinya banyak kasus korupsi di Indonesia merupakan akibat dari buruknya kinerja birokrasi di Indonesia . Sudah menyebar luas di masyarakat bahwa d

Analisis Wacana Norman Fair Clough

A. Analisis Wacana Analisis adalah sebuah upaya atau proses (penguraian) untuk memberi penjelasan dari sebuah teks (realitas sosial) yang mau atau sedang dikaji oleh seseorang atau kelompok dominan yang kecenderungannya mempunyai tujuan tertentu untuk memperoleh apa yang di inginkan. Artinya dalam sebuah konteks kita juga harus menyadari akan adanya kepentingan, Oleh karena itu analisis yang terbentuk nantinya telah kita sadari telah dipengaruhi oleh si penulis dari berbagai faktor, kita dapat mengatakan bahwa di balik wacana itu terdapat makna dan citra yang diinginkan serta kepentingan yang sedang diperjuangkan. Wacana adalah proses pengembangan dari komunikasi, yang menggunakan simbol-simbol, yang berkaitan dengan interpretasi dan peristiwa-peristiwa, di dalam sistem kemasyarakatan yang luas. Melalui pendekatan wacana pesan-pesan komunikasi, seperti kata-kata, tulisan, gambar-gambar, dan lain-lain, Eksistensinya ditentukan oleh orang-orang yang menggunakannya, konteks per

BERKAH DARI PERBEDAAN PERAN

BERKAH DARI PERBEDAAN PERAN Oleh : Abd Aziz “Meski pembicaraan atas nama gender sering kali menjadi bahan perbincangan yang hangat, tapi tidak tentu hakikat dari gender jika dipermasalahkan tidak seruwet apa yang sedang didiskusikan bersama.” Untuk meningkatkan status dan kualitas perempuan telah dilakukan berbagai program dan kegiatan pemberdayaan perempuan, namun hasilnya masih belum memadai, Kesempatan kerja perempuan belum membaik, beban kerja masih berat dan pendidikan masih rendah. Dari kegiatan tersebut lahir pemikiran bahwa hubungan/relasi yang timpang antara perempuan dan laki-laki di dalam dan di luar keluarga perlu diubah artinya diperlukan suatu perubahan struktural yaitu perubahan relasi sosial dari yang timpang ke relasi sosial yang setara dimana keduanya merupakan faktor penting dalam menentukan berbagai hal yang menyangkut kehidupan keluarga. Pada tahun 1980 diselenggarakan Konferensi Dunia tentang perempuan yang kedua di Kopenhagen setelah Konferensi Dunia tentang per