Langsung ke konten utama

sosiologi


BAB I

PENDAHULUAN

Ada banyak teori dan perspektif dalam sosiologi yang dapat digunakan untuk menganalisis masyarakat. Ada yang menggunakan perspektif evolusionisme, fungsionalisme, interaksionisme simbolik, teori konflik, teori sistem, dsb. Semua pendekatan-pendekatan ini masing-masing memiliki karakteristik, tujuan dan manfaat yang berbeda-beda. Perspektif teori Interaksionisme Simbolik merupakan salah satu pendekatan atau paradigma yang dapat digunakan apabila kita ingin meneliti mengenai fenomena-fenomena Sosiologi.

Dalam mengevaluasi bukti-bukti tentang hubungan antara status social dan arah interaksi, perlu diperhatikan berbagai jenis ukuran interaksi, semua ukuran ini menunjukkan betapa luasnya jaringan interaksi antar individu yan gberbeda status sosialnya dalam masyarakatmodern. Begitu pula jika kita memperhatikan ukuran internal, baik frekuensi maupun intensitasnya, seperti kawin campuran, fakta dari beberapa Negara membuktikan bahwa kecenderungan berinteraksi antara orang yang sama statusnya adalah yang tertinggi frekuensinya

Dalam hal lain interaksionisme simbolik menawarkan suatu pemikiran yang sangat penting dan menarik, selain itu sejumlah para pemikir besar ikut andil dan tergabung dalam menjelajahi realitas dengan melalui pendekatan tersebut.

BAB II

PEMBAHASAN

Teori ini dikembangkan oleh kelompok The Chicago School dengan tokoh penggagas George H. Mead dan tokoh pengikutnya yaitu Herbert Blummer. George H. Mead adalah seorang psikolog sosial Amerika di akhir abad kesembilan belas dan filsuf yang dipengaruhi oleh konsep tokoh Adam Smith mengenai “ penonton yang tidak memihak “. Ditangan Mead, penonton Smith menjadi “ orang lain yang digeneralisasikan “ ( generalized other ), istilah yang dipakainya untuk bagian “ kedirian “ ( self ) yang merupakan sebuah internalisasi sikap-sikap orang-orang lain terhadap diri kita sendiri dan peran-peran kita. Kata “ Interaksionisme Simbolis “ sendiri diciptakan oleh seorang murid Mead yaitu Herbert Blummer, pada tahun 1937. Kata interaksionalisme simbolik itu dimaksudkan untuk mencakup pemahaman timbal-balik dan penafsiran isyarat-isyarat dan percakapan merupakan kunci bagi masyarakat manusia ( Campbell : 253 ). Selain Mead dan Blummer, tokoh lain yang juga memberikan kontribusi intelektualnya adalah Charles Horton Cooley.

A. Kapasitas berpikir

Asumsi pentting bahwa manusia memiliki kapasitas untuk berpikir membedakan interaksionisme simbolik dari akar behaviorismenya. Asumsi ini juga menyediakan basis semua teoriyang berorientasi pada interaksionisme simbolik. Kemampuan manusia untuk berpikir memunkinkan manusia untuk bertindak dengan pemikiran ketimbang hanya berperilaku dengan tanpa pemikiran. Manusia pasti sering kali membangun dan membingbing apa-apa yang mereka lakukan ketimbang melepaskannya begitu saja. Kemempuianm untuk berpikir tersimpan dalam pikiran. Tetapi teoritis interaksionisme simbolik mempunyai konsep yang agak luar biasa mengenai pikiran yang menurut mereka berasal dari sosialisasi kesadaran.mereka membedakan pikiran dari otak fisiologis. Teoritisi interaksionisme simbolik tidak membayangkan pikiran sebagai benda, sebagai sesuatu yang memiliki struktur fisik, tetapi lebih membayangkannya sebagai proses yang berkelanjutan. Pikiran, menurut interaksionisme simbolik, sebenarnya berhubungan dengan berbagai aspek lain termasuk sosialisasi, arti symbol, diri, ionteraksi juga masyarakat

B. Berpikir dan berinteraksi

Manusia hanya memilki kapasitas umum untuk berpikir, kapasitas ini hasrus dibentuk dan diperhalus dalam proses interaksi social. Pandangan ini menyebabkan teoritisi interaksionisme simbolik memusatkan perhatian pada bentuk khusus interaksi social yakni sosialisasi. teoritisi interaksionisme simbolik pandangan mengenai proses sosialisasi yang berbeda dari pandangan sebagian besar sosiolog lain. Bagi teoritisi interaksionisme simbolik. Sosialisasi adalah suatu proses yan glebih dinamis yang memunkinkan manusia mengembaqngkan kemampuannya untuk berpikir untuk mengembangkan cara hidup menusia itu sendiri.. sosialisasi bukanlah semata-mata proses satu arah dimana actor menerima informasi, tetapi merupakan proses dinamis, yang mana actor sendiri yang menyusun dan menyesuaikan informasi itu dengan kebutuhan mereka sendiri (manis dan Meltzer, 1978:6). Interaksi adalah suatu proses dimana kemampuan berpikir dikembangkan dan diperhatikan.

C. Pembelajaran makna dan symbol

Manusia mempelajari symbol dan makna didalam interaksi social. Manusia menanggapi tanda-tanda yang tanpa berpikir. Sebaliknya manusia menanggapi symbol dengan cara berpikir. Symbol mempunyai arti sendiri.:

Symbol adalah objek yang dipakai untuk (mempersentasikan atau menggantikan). Orang sering menggunakan symbol untuk mengomunikasikan sesuatu mengenai cirri mereka itu sendiri. Kata-kata adalah symbol karena digunakan untuk menggantikan sesuatu yang lain.

Symbol; pada umunya mempunyai sejumlah fungsi khusus bagi actor:

pertama: symbol memunkinkan orang menghadapi dunia material dan dunia social. Dengan memunkinkan mereka untuk mengatakan, menggolongkan, dan terutama mengingat secara lebih efisien ketimbang yang dapat mereka lakukan dengan menggunakan jenis symbol lain seperti kesan bergambar.

Kedua: symbol meningkatkan kemampuan manusia untuk memahami lingkungan

Ketiga: symbol meningkatkan kemampuan untuk berpikir

Keempat: symbol meningkatkan kemampuan menyelesaikan berbagai masalah

Kelima: symbol memungkinkan actor mendahului waktu, ruang bahkan pribadi mereka itu sendiri.

Keenam: symbol memunkinkan kita membayangkan realitas metafisik, seperti surga dan neraka.

Ketujuh: symbol memunkinkan manusia menghindar dari diperbudak oleh lingkungan mereka, mereka lebih aktif ketimbang pasif, maksudnya amengatur sendiri mengenai apa yang ingin mereka kerjakan.

D. Membuat pilihan

Sebagian karena kemampuan menggunakan arti dan symbol, maka dari itulah manusia dapat membuat pilihan tindakan dimana mereka terlibat. Orang tidak harus menyetujui arti dan symbol yang dipaksakan terhadap mereka, berbagai penafsiran mereka sendiri. “manusia mampu membentuk arti baru dan deretan arti baru” terhadap situasi (kmanis dan Meltzer 1978:7) jadi, menurut teoritisi interaksinisme simbolik, actor setidaknya mampu sedikit otonomi.

BAB III

TOKOH INTERAKSIONISME SIMBOLIK

A. George Herbert Mead ( 1863 – 1931 )

Mead adalah pemikir yang sangat penting perananny;a dalam sejarah teoritisi interaksionisme simbolik(joas, 2001) dan bujkunya yang berjudul Mind, Self, Dan Society adalah karya tunggal yang sangat berpengaruh dalam tradisi seperti itu.

Pada dasarnya teori meod menyetujui keunggulan dan keutamaan dunia social, artinya dari dunia social itulah muncul kesadaran, pikiran dari dan seterusnya. Unit paling mendasar dalam teori social mead adalah tindakan yang meliputi empat tahap yang mana keempat tersebut berhubungan secara dialektis, yakni:

a) Impuls

b) Persepsi

c) Manipulasi

d) Konsumasi

Tindakan social melibatkan dua orang atau lebih dan mekanisme dasar tindakan sosiaql itu adalah isyarat binatang dan manusia mampou melakukan perckapan dengan isyarat, namun hanya diantara keduanya ternyata manusia yang bisa dan dapat mengomunikasikan artai gerak isyarat mereka secara sadar. Menusia mempunyai kemampuan istimewa untuk menciptakan isyarat yang berhubungan dengan suara. Dan kemampuan ini menimbulkan kemampuan khusus untuk berkomunikasi satu sama lain, dalam artian yang sesungguhnya. Symbol signifikan juga membukakan peluanmg untuk berpikir maupun untuk berinteraksi dengan simbolik.

Mead melihat untaian proses menial sebagai bagian proses social lebih luas yang meliputi intelegensi reflektif, kesadaran, kesan mental, arti dan yang paling umum, pikiran manusia mempunyai kapasitas khusus untuk melakukan percakapan dengan dirinya sendiri.seluruh peruses mental itu menurut mead bukan terletak didalam otak melainkan didalam berproses berinterakasi social.

interaksionisme simbolik dapat diringkas dengan prinsip dasar sebagai berikut;

1) Tidak seperti binatang, karena manusia dineri kemampuian untuk berpikir

2) Kemampuan berpikir dap[at diperoleh dalam berinteraksi social

3) Dalam berinterakasi social manusia mempelajari, makna dan symbol yang memungkinkan mereka menggunakan kemampuan mereka berpikir mereka yang khusus itu.

4) Makna dan symbol memungkinkan manusia melakuakan tindakan khusus dan berinteraksi.

5) Manusia mampu mengubah arti dan symbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan berinteraksi berdasarkan penafsiran terhadap situasi.

6) Manusia mampu memodifikasi dan mengubah sebagian yang memungkinkan mereka menguji serangkaian peluang tindakan, menjadi keuntungan dan kerugian relatifnya dan kemudian memilih satu diantara serangkaian peluang tindakan itu.

7) Pola aksi dan interaksi akan membentuk kelompok danm masyarakat.

B. Blomer (Spradley, 1997:7)

Menurutnya ada beberapa premis inte­raksionisme simbolik yang perlu dipahami peneliti budaya, yaitu sebagai berikut:

Pertama, manusia melakukan berbagai hal atas dasar makna yang diberikan oleh berbagai hal itu kepada mereka. Misalkan, para polisi, mobil polisi, penjual minum, tipe orang, dan sebagainya dalam suatu kerumunan memiliki simbol yang bermakna khusus.

Kedua, dasar interaksionisme simbolik adalah “makna berbagai hal itu berasal dari, atau muncul dari interaksi sosial seorang dengan orang lain. Kebudayaan sebagai suatu sistem makna yang dimiliki bersama, dipelajari, diperbaiki, dipertahankan, dan didefmisikan dalam konteks orang yang berinteraksi.

Ketiga, dari interaksionisme simbolik bahwa makna ditangani atau dimodifikasi melalui suatu proses penafsiran yang digunakan oleh orang dalam kaitannya dengan berbagai hal yang dia hadapi. Seorang polisi juga menggunakan kebudayaan untuk menginterpre­tasikan situasi.

Di samping tiga premis tersebut, Muhadjir (2000:184-185) menambahkan lagi tujuh proposisi. Tujuh proposisi tersebut terkait dengan para tokoh-tokoh penemu pendahulunya, yakni: pertama, perilaku manusia itu mempunyai makna di balik yang menggejala. Kedua pemaknaan kemanusiaan perlu dicari sumbernya ke dalam interaksi sosial. Ketiga, komunitas manusia itu merupakan proses yang berkembang holistik, tak terpisah, tidak linier, dan tidak terduga. Keempat, pemaknaan berlaku menurut penafsiran fenomenologi, yaitu sejalan dengan tujuan, maksud, dan bukan berdasarkan mekanik. Kelima, konsep mental manusia berkembang secara dialektik. Ke­enam, perilaku manusia itu wajar, konstruktif, dan kreatif, bukan elementer-reaktif: Ketujuh, perlu menggunakan metode introspeksi simpatetik, menekankan pendekatan intuitif untuk menangkap makna.

Melalui premis dan proposisi dasar di atas, muncul tujuh prinsip interaksionisme simbolik, yaitu: (1) simbol dan interaksi menyatu. Karena itu, tidak cukup seorang peneliti hanya merekam fakta, melainkan harus sampai pada konteks; (2) karena simbol juga bersifat personal, diperlukan pemahaman tentang jati diri pribadi subyek penelitian; (3) peneliti sekaligus mengkaitkan antara simbol pribadi dengan komunitas budaya yang mengitarinya; (4) perlu direkam situ­asi yang melukiskan simbol; (5) metode perlu merefleksikan bentuk perilaku dan prosesnya; (6) perlu menangkap makna di balik fenomena; (7) ketika memasuki lapangan, sekedar mengarahkan pemikiran subyek, akan lebih baik.

C. Ervin Goffman

Gagasan tentang cermin diri dapat dirinci dan digolongkan menjadi tiga kelompok: pertama kita membayangkan bagaimana kemampuan dimata orang lain, kedua, kita membayangkan apa yang seharusnya mereka nilai yang berkenaan dengan kemampuan kita, ketiga, kita membayangkan semacam perasaan diri tertentu seperti rasa harga diri atau rasa malu sebagai akibat dari bayangan kita mengenai penilaian orang lain.

Karya Ervin Goffman yang terpenting tentang diri dalam interaksinisme simbolik adalah presentation of self inevery day life (1959). Konsep diri goffman sangat dipengaruhi oleh pikiran meod, khususnya dalam diskusinya mengenai ketegangan antara diri spontan ”i” dan “me” diri yang dibatasi oleh kehidupan social, ketegangan ini tercermin dalam pemikiran goffman tentang apa yang disebutnya. Ketidak sesuaian antara diri manusiawi kita dan diri kita sebagai hasil proses sosialisasi,

Pandangan goffman tentang diri dibentuk oleh pendekatan dramaturginya ini. Menurutnya, diri adalah bukan sesuatu yang bersifat organic yang mempunyai tempat khusus, dalam menganalisis diri (self), kita mengambilnya dari pemiliknya, dari orang yang sangat diuntungkan atau dirugikan olehnya, karena ia dan tubuhnya semata hanya menyediakan petokan sesuatau yang menghasilkan kerja sama yang akan tergantung untuk sementara. Cara menghasilkan dan mempertahankan diri tidak terletak pada patokan (goffman 1959:252-253).

Goffman berasumsi bahwa social saat berinteraksi, actor ingin menampilkan perasaan diri yang dapat diterima oleh orang lain, tetapi ketika menampilkan diri, actor menyadari bahwa anggota audien dapat mengganggu penampilannya, karena isi actor menyesuaiklan diri dengan pengendalian audien, terutama unsure-unsur yang dapat mengganggu.

Perhatian utama goffman terletak dibidang interaksi, ia menyatakan karena orang pada umumnya ingin mencoba mempertunjukkan gambaran idealis mengenai diri mereka sendiri didepan umum, maka tanpa terelakkan mereka merasa bahwa mereka harus menyembunyikan sesuatu perbuatan mereka itu sendiri.

Menurut goffman, sebagai seorang teoritis interaksinisme simbolik, memusatkan perhatiannya pada actor tunggal yang akan mengaburkan fakta penting tentang interaksi. Unit analisis dasar goffman bukanlah individu, tetapi tim. Tim disini adalah sekumpulan individu yang bekerja sama dalam mementaskan rutis masing-masing, jadi bahasan terdahulu mengenai hubungan antara actor dan audien sesungguhnya adalah kerjasamatim.

1) Role distance

Dalam Role distance, goffman memusatkan perhatiannya pada derajat pelaksanaan peran tertentu oleh seorang individu (aktor), menurut pandangan goffman, karena demikian banyaknya peran, maka hanya sedikit individu yang benar-benar terlibat sepenuhnya dalam peran tertentu. Role distance (jarak peran) menerangkan derajat pemisahan antara diri individu dengan peran diharapkan dimainkannya.

Salah satu pemikiran kunci goffman adalah hanya jarak peran yang biasa diartikan atau berfungsi status social seseorang. Orang yang berstatus social tinggi lebih sering menunjukkan jarak social karena alasan yang berbeda dan orang yang berada pada posisi status lebih rendah

2) Stigma

Goffman tertarik pada jurang pemisahan antara apa yang seharusnya dilakukan seseorang “identitas social virtual” dan apa yang sebenarnya dilakuakan seseorang “identitas social actual” dalam karyanya dia memusatkan perhatian pada interaksi dramaturgis antara actor yang terstigma dan yang normal. Sifat sifat interaksi social itu tergantung pada stigma yang mana diantara dua jenius stigma yang terdapat pada diri seseorang actor.

3) Analisis kerangka

Dan didalam salah satu bukunya yang berjudul “frame analisys” goffman menggeser jauh dari akar interaksionisme simbolik klasik dan mengarah pada studi kehidupan social berskala kecil, dan analisis goffman tentang aktivitas berkerangka khusus kita dapat menemukan cri-ciri yang longsor dan secara kebetul;an dalam rentang waktu yang pendek, kerangka itu merupakan sejumlah komponen penting yang mempunyai susunan yang defintif dan hubungan stabil.

BAB IV

KESIMPULAN

Ada banyak teori dan pula persepektif yang berbeda dalam sosiologi. Yang dapat digunakan untuk menganalisis masyarakat, ada yang menggunakan persepektif fungsionalisme, interaksionisme sibolik, dan seterusnya. Persepektif interaksionisme simbolik merupakan salah satu pendekatan atau paradigma yang dapat digunakan apabila kita akan meneliti fenomena atau realitas yang sedang terjadi disuatu masyarkat.

Interaksionisme simbolik adalah salah satu model penelitian ilmu sosiologi sendiri yang berusaha mengungkap realitas perilaku manusia.

ü Interaksionisme simbolik tidak terlalu mudah membuang teknik ilmiah konversional

ü Interaksionisme simbolik dikriftif karena meremehkan atau mengabaikan peran struktur berskala luas.

DAFTAR PUSTAKA

Margaret M Poloma. Sosiologi Kontemporer, Raja Grafindo Persada Jakarta

Kaare Sualastoga, Diperensisasi Social. PT Bina Aksara. Jakarta 1989

Dari Parson Sampai Habermas, Teori-Teori Social Modern, Cu Rajawaqli. 1986

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KORUPSI ditinjau dari teori fungsional struktural

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut UU. No 20 tahun 2001 Jo UU No. 31 tahun 1999, Korupsi didefinisikan sebagai tindakan melawan hukum dengan menyalahgunakan kewenangan/kesempatan/sarana yang ada pada seseorang karena jabatan/kedudukannya untuk memperkaya diri sendiri/orang lain/korporasi sehingga merugikan negara. Banyak penelitian membahas dan memberikan definisi mengenai korupsi dari berbagai sudut pandang sebagian besar definisi tersebut dititik beratkan pada perilaku.Korupsi yang mana menjadi salah satu hambatan terburuk dalam pembangunan suatu bangsa, korupsi sangat dinikmati oleh orang- orang kaya tetapi sangat menyengsarakan bagi orang-orang miskin dan korupsi merupakan hambatan terbesar untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi dalam sebuah masyarakat atau negara.Dan rentan sekali menambah kemelaratan warga Negara Indonesia. Terjadinya banyak kasus korupsi di Indonesia merupakan akibat dari buruknya kinerja birokrasi di Indonesia . Sudah menyebar luas di masyarakat bahwa d

Analisis Wacana Norman Fair Clough

A. Analisis Wacana Analisis adalah sebuah upaya atau proses (penguraian) untuk memberi penjelasan dari sebuah teks (realitas sosial) yang mau atau sedang dikaji oleh seseorang atau kelompok dominan yang kecenderungannya mempunyai tujuan tertentu untuk memperoleh apa yang di inginkan. Artinya dalam sebuah konteks kita juga harus menyadari akan adanya kepentingan, Oleh karena itu analisis yang terbentuk nantinya telah kita sadari telah dipengaruhi oleh si penulis dari berbagai faktor, kita dapat mengatakan bahwa di balik wacana itu terdapat makna dan citra yang diinginkan serta kepentingan yang sedang diperjuangkan. Wacana adalah proses pengembangan dari komunikasi, yang menggunakan simbol-simbol, yang berkaitan dengan interpretasi dan peristiwa-peristiwa, di dalam sistem kemasyarakatan yang luas. Melalui pendekatan wacana pesan-pesan komunikasi, seperti kata-kata, tulisan, gambar-gambar, dan lain-lain, Eksistensinya ditentukan oleh orang-orang yang menggunakannya, konteks per

SOSIAL BUDAYA

SOSIAL BUDAYA ABSTRAK A. Latar Belakang Menurut UU. No 20 tahun 2001 Jo UU No. 31 tahun 1999, Korupsi didefinisikan sebagai tindakan melawan hukum dengan menyalahgunakan kewenangan/kesempatan/sarana yang ada pada seseorang karena jabatan/kedudukannya untuk memperkaya diri sendiri/orang lain/korporasi sehingga merugikan negara. Banyak penelitian membahas dan memberikan definisi mengenai korupsi dari berbagai sudut pandang sebagian besar definisi tersebut dititik beratkan pada perilaku.Korupsi yang mana menjadi salah satu hambatan terburuk dalam pembangunan suatu bangsa, korupsi sangat dinikmati oleh orang- orang kaya tetapi sangat menyengsarakan bagi orang-orang miskin dan korupsi merupakan hambatan terbesar untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi dalam sebuah masyarakat atau negara.Dan rentan sekali menambah kemelaratan warga Negara Indonesia. Terjadinya banyak kasus korupsi di Indonesia merupakan akibat dari buruknya kinerja birokrasi di Indonesia . Sudah menyebar luas di