Salah satu masalah yang tetap saja menonjol dalam perkembangan era globalisasi ini, hamper sepanjang abad 20 adalah masalah timur tengah, terutama persengketaan Israel dengan Negara-negara sekutunya yang kebanyakan didominasi oleh masyarakat muslim. Seperti, arab Saudi,
Terakhir kompas edisi minggu 4 januari memberitakan konflik tentang timur tengah anatar sua sekutu yaitu
Tanpa harus menghilangkan persepsi-persepsi yang beda dari segi pandangan oraang lain tentang fenoma itu, saya mencoba menganalisis fenomena tersebut melalui pendekatan-pendekatan yang telah tersaji dalam ilmu sosiologi.
Gencatan dengan serangan roket dan mortir yang tidak kunjung berakhir dari jalur
Gerakan Zionisme modern tampaknya mencapai kesuksesan yang luar biasa. Gerakan tersebut dewasa ini munkin tengah berada di puncak kesuksesan. Gerakan itu dimulai hanya dengan tekad dan semangat yang dimiliki suatu kelompook kecil manusia yang sangat menderita dan selalu perlakuan penindasan. Itulah sekelumit tentang lahirnya sebuah kelompok minoritas yang mempunyai semangat tinggi dan setelah meraih kesuksesan akan segera menyusun rencana untuk membalas dendam pada kelompok-kelompok yang lainnya yang selama itu selalu menjadikannya budak-budakan, akan tetapi lepas dari hal istilah balas dendam yang dilakukan dari sebuah kelompok terhadap kelompok lain bias saja sebuah rencana yang memang terencana yang banyak didasari oleh berbagai latar belakang masalah, mulai masalah ideology, politik, ekonomi dan sebagainya,
Sertiap gerakan tidak munkin terjadi tanpa pemikiran yang melatarbelakanginya. Pemikiran itu terkadang timbul dari sebuah asumsi tentang pandangan hidup dan dunia yang dimiliki sekelompok orang tentang dirinya dan dunia sekelilingnya. Dan tulisan ini dimaksudkan untuk mecari latar belakang dari sebuah fenomena yang ada pada berita yang saya telah sebutkan diatas tadi.
Dewasa ini, beberapa tahun sebelum berakhirnya abad 20, Negara Zionis Israel ditimur tengah telah menjadi demikian berkuasa sehingga ia merasa berhak, memiliki kemampuan, dan memang berkali-kali bertindak sewenang-wenang melakukan penyerangan terhadap kelompok dan Negara mana saja, yang dianggapnya mengan cam ke eksistensiannya. Dan dalam proses tindakan yang dianggapnya membela diri itu, ia merasa wajar, sama sekali tidak ganjil dan tidak aneh apbila pada waktu yang sama seperti sekarang ini. Ia setiap hari menginjak0injak hak-hak manusia bahkan lebih dari itu sering kali sampai nyawapun harus menjadi korban dari sifat ketidak prikemanusiaan itu.
Agresi militer
Agresi ini diklaim paling besar dalam sepuluh tahun terakhir. Dan bisa diprediksi, korban terbanyak adalah kaum sipil yang tidak berdosa, korban dikabarkan mencapai kurang lebih 300 orang dan mungkin bisa lebih melihat agresi
Konflik Palestina – Israel menurut sejarah sudah 31 tahun ketika pada tahun 1967 Israel menyerang Mesir, Yordania dan Syria dan berhasil merebut Sinai dan Jalur Gaza (Mesir), dataran tinggi Golan (Syria), Tepi Barat dan Yerussalem (Yordania).. Sampai sekarang perdamaian sepertinya jauh dari harapan. Ditambah lagi terjadi ketidaksepakatan tentang masa depan Palestina dan hubungannya dengan
Agresi militer
Agresi ini diklaim paling besar dalam sepuluh tahun terakhir. Dan bisa diprediksi, korban terbanyak adalah kaum sipil yang tidak berdosa, korban dikabarkan mencapai kurang lebih 300 orang dan mungkin bisa lebih melihat agresi
Sejarah dari kedua belah pihak
Ø 1947
PBB merekomendasikan pemecahan Palestina menjadi dua negara: Arab dan
Ø 1948, 14 Mei.
Sehari sebelum habisnya perwalian Inggris di Palestina, para pemukim Yahudi memproklamirkan kemerdekaan negara
Ø 1948, 2 Desember
Protes keras Liga Arab atas tindakan AS dan sekutunya berupa dorongan dan fasilitas yang mereka berikan bagi imigrasi zionis ke Palestina. Pada waktu itu, Ikhwanul Muslimin (IM) di bawah Hasan Al-Banna mengirim 10.000 mujahidin untuk berjihad melawan
Ø 1956, 29 Oktober
Ø 1964
Ø 1967
Israel 0menyerang Mesir, Yordania dan Syria selama 6 hari dengan dalih pencegahan, Israel berhasil merebut Sinai dan Jalur Gaza (Mesir), dataran tinggi Golan (Syria), Tepi Barat dan Yerussalem (Yordania).
Ø 1967, Nopember
Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi Nomor 242, untuk perintah penarikan mundur Israel dari wilayah yang direbutnya dalam perang 6 hari, pengakuan semua negara di kawasan itu, dan penyelesaian secara adil masalah pengungsi Palestina.
Ø 1969
Yasser Arafat dari faksi Al-Fatah terpilih sebagai ketua Komite Eksekutif PLO dengan markas di Yordania.
Ø 1970
Berbagai pembajakan pesawat sebagai publikasi perjuangan rakyat Palestina membuat PLO dikecam oleh opini dunia, dan Yordania pun dikucilkan. Karena ekonomi Yordania sangat tergantung dari AS, maka akhirnya Raja Husein mengusir markas PLO dari Yordania. Dan akhirnya PLO pindah ke Libanon.
Ø 1973, 6 Oktober
Mesir dan
Ø 1973, 22 Oktober
Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi Nomor 338, untuk gencatan senjata, pelaksanaan resolusi Nomor 242 dan perundingan damai di Timur Tengah.
Ø 1977
Pertimbangan ekonomi (perang telah memboroskan kas negara) membuat Anwar Sadat pergi ke
Ø 1978, September
Mesir dan
Ø 1980
Ø 1982
Ø 1987
Intifadhah, perlawanan dengan batu oleh orang-orang Palestina yang tinggal di daerah pendudukan terhadap tentara
Ø 1988, 15 Nopember
Diumumkan berdirinya negara Palestina di Aljiria, ibu
Setelah Yasser Arafat mangkat kursi presiden diduduki oleh Mahmud Abbas. Dewan Nasional Palestina, yang identik dengan Parlemen Palestina beranggotakan 500 orang.
Ø 1988, Desember
AS membenarkan pembukaan dialog dengan PLO setelah Arafat secara tidak langsung mengakui eksistensi
Ø 1991, Maret
Yasser Arafat menikahi Suha, seorang wanita Kristen. Sebelumnya Arafat selalu mengatakan “menikah dengan revolusi Palestina”.
Ø 1993, September
PLO –
Setelah kekuasaan di daerah pendudukan dialihkan ke PLO, maka sesuai perjanjian dengan
Yasser Arafat, Yitzak Rabin dan Shimon Peres mendapat Nobel Perdamaian atas usahanya tersebut.
Ø 1995
Rabin dibunuh oleh Yigar Amir, seorang Yahudi fanatik. Sebelumnya, di Hebron, seorang Yahudi fanatik membantai puluhan Muslim yang sedang shalat subuh. Hampir tiap orang dewasa di
Ø 1996
Pemilu di Israel dimenangkan secara tipis oleh Netanyahu dari partai kanan, yang berarti kemenangan Yahudi yang anti perdamaian. Netanyahu mengulur-ulur waktu pelaksanaan perjanjian perdamaian. Ia menolak adanya negara Palestina, agar Palestina tetap sekedar daerah otonom di dalam
AS tidak senang bahwa
Ø 2002 - Sampai sekarang
Sebuah usul perdamaian saat ini adalah Peta menuju perdamaian yang diajukan oleh Empat Serangkai Uni Eropa, Rusia, PBB dan Amerika Serikat pada
Sementara itu sebelum terjadinya serangan habis-habisan Israel ke Gaza (27/12/2008), sudah terjadi serangan-serangan kecil di antara kedua belah pihak di sekitar Jalur Gaza, disebabkan Israel menutup tempat-tempat penyeberangan atau jalur komersial ke Gaza sehingga pasokan bahan bakar minyak terhenti, yang memaksa satu-satunya pusat pembangkit listrik di Jalur Gaza tutup.
I.Kerangka Pemikiran
Landasan dan kerangka pemikiran yang dipergunakan dalam menganalisa konflik Arab-Israel ini adalah berdasarkan pada asumsi-asumsi dasar dan srategi perdamaian Liberalisme. Dimana, Liberalis memiliki kecenderungan menggunakan cara-cara kooperatif, negosiasi dan diplomasi dalam menyelesaikan sengketa di bandingkan dengan menggunakan kekuatan militer. Bagi Liberalis damai didapat dengan perang (peace is prior to war) dan sebaliknya “war is necessary evil”
Pandangan war as a necessary evil yang melihat perang sebagai sebuah kejahatan yang perlu dilakukan untuk perdamaian, melahirkan doktrin ius ad bellum yang terdiri dari tiga landasan filosofis Liberalis, antara lain : Landasan pertama adalah tentang kemungkinan penerapan perang sebagai® suatu instrumen untuk mencapai kepentingan tertentu. Namun hal ini dapat dilakukan dengan syarat: pertama, tujuan perang adalah menciptakan perdamaian positif, yang dipandang sebagai suatu proses untuk menciptakan tradisi penciptaan alternatif-alternatif resolusi konflik yang tidak memungkinkan diterapkannya opsi penggunaan kekerasan. Kedua, perang bukanlah sesuatu yang dikehendaki, dan karenanya harus dijadikan sebagai pilihan terakhir (last resort) yang terpaksa dipilih karena eksplorasi alternatif yang lain gagal.
Landasan kedua adalah Authority, yaitu ssebuah negara dapat® mendeklarasikan perang terhadap negara lain dan secara moral deklarasi itu dapat dinilai sebagai just war hanya jika deklarasi itu dideklarasikan oleh pemerintah yang sah (authority), ditujukan murni unutk pertahanan (causta iusta), dan peperangan dilakukan untuk menciptakan kembali perdamaian (intentio recta), sehingga satu-satunya motivasi perang adalah untuk mempertahankan diri dari agresi lawan (legitimate self-defense).
Landasan ketiga adalah bahwa setiap usaha yang dilakukan dalam® pertempuran tidak boleh melanggar standar-standar moral/standar HAM yang ada yang mengacu pada syarat diskriminasi (membedakan tindakan terhadap combatant dan noncombatant) dan proportionalitas (mengkalkulasikan biaya dan kerusakan yang timbul akibat perang).
Meskipun dalam paham Liberalis meyakini war = justify (dibenarkan), namun tetap saja Liberalis sangat menekankan penyelesaian konflik dengan jalan negosiasi dan diplomasi yang jauh dari tindakan-tindakan kekerasan serta mengupayakan terciptanya positive peace, perdamaian yang dapat diselesaikan hingga ke akar persoalan sehingga kondisi damai tersebut bertahan terus menerus yaitu apa yang disebut Immanuel Kant sebagai perpetual peace , dan hal tersebut hanya dapat tercapai dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Pemikiran Liberalis penting lainnya adalah menjadikan individu atau institusi non negara sebagai unit utama analisanya. Institusi dipandang dapat mengurangi negara dari unsur kalkulasi kepentingan sendiri menjadi seberapa besar bagi setiap tindakan mereka memberikan dampak terhadap power-nya. Institusi adalah variabel indenpenden dan kemampuan menghindarkan negara dari perang.
Dalam resolusi konflik, Liberalis juga cenderung menggunakan institusi sebagai pihak ketiga (third party Intervention). Intervensi pihak ketiga dalam menyelesaikan konflik dianggap penting oleh Liberalis dikarenakan asumsi mereka bahwa penyelesaian konflik harus memberikan keuntungan/keputusan yang sama baiknya bagi pihak yang bersengketa (positive sum game). Sebaliknya Institusi sering menjadi alat kepentingan negara, sehingga konflik juga sering dipandang sebagai alat pemenuhan kepentingan pihak tertentu.
Liberalis yakin bahwa kerjasama negara dalam sebuah institusi internasional dapat terwujud bukan sekedar distribusi power saja sebab pandangan liberalis tentang sistem internasional tidak terlalu buruk. Kaum Liberalis juga menolak analogi politik bagaikan hutan rimba dan lebih mengumpamakan menanam perang atau damai, tergantung sang pelaksana. Tentu pengolahan yang dilakukan bagaimana caranya sistem internasional ini menjadi damai. Bekerja sendiri atau self – help dari aktor mustahil mampu menciptakan perdamaian tersebut. Harus ada kerjasama antar aktor politik internasional dan kerjasama itu diwujudkan dalam struktur kelembagaan yaitu: institusi dan organisasi internasional.
Strategi perdamaian, yaitu pengaturan resource. Pengaturan atau distribusi resource atau sumber daya ini berdasarkan prinsip-prinsip kapitalisme. Interaksi yang terjadi adalah “Positive Sum Game”, dimana harus mampu menghasilkan keputusan yang adil dan keuntungan di dua belah pihak, khususnya untuk distribusi sumberdaya.
Terakhir adalah Identity, yaitu berangkat dari prinsip cosmopolitant Identity (Immanuel Kant) yang mengatakan bahwa setiap manusia mengingainkan kebebasan, dan keinginan kebebasan itu dapat diwujudkan dalam bentuk kesatuan (federasi/republik) yang demokratis.
Asumsi-asumsi dasar dari perspektif Liberal tersebut yang kemudian akan dipergunakan sebagai kerangka berfikir dalam memahami, mengevaluasi dan memprediksikan persoalan-persoalan dalam konflik Arab-Israel yang akan diulas dalam bagian berikutnya.
Kapan perdamaian hakiki
Menurut Budi Hari Wibowo (2002), kasus Israel-Palestina menuntut peran aktif semua aktor internasional menggelar perdamaian di
Ditinjau dari karakter--seperti telah diungkap sebelumnya--keduanya saling "berkeras" bertahan dengan keinginan masing-masing. Ini dapat diasumsikan sebagai karakter dasar mereka bahwa hubungan antarmereka jika melihat asalnya adalah sama-sama bangsa Timteng dari nenek moyang yang sama. Terlepas apakah mereka dibedakan keyakinan.
Sedangkan, dari konteks sosial masyarakat kedua negara itu, mesti dikaitkan dengan institusi budayanya. Sebagaimana dikatakan Nawawy (dalam Online Journal of Peace and Conflict Resolution, Summer 2001), konflik yang terjadi di Timteng tidak terbatas karena faktor politik dan wilayah saja, tapi juga faktor perbedaan budaya antara Arab dan
Namun, dia juga mengatakan budaya adalah kunci penyelesaian konflik di
Namun, untuk menyikapi agresi militer
Sumber masalah selama ini, yakni pendudukan Israel di Jalur
Keserakahan
II.DAFTAR PUSTAKA
Moertono, Soemarsaid,1984, Budi Dan Kekuasaan Dalam Konteks Kesejarahan, dalam Mirriam Budiarjo. ed. Aneka pemikiran tentangkuasa dan wibawa. Jakarta: Sinar Harapan
http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A2417_0_3_0_M
http://www.lampungpost.com/cetak/cetak.php?id=2009010423582814
http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009010222531662
http://dewitri.wordpress.com/2009/01/03/resolusi-konflik-arab-israel/
Komentar