Langsung ke konten utama

artikel_Q

SAINS DALAM PRESPEKTIF LINTAS AGAMA

Ilmu pengetahuan dilandaskan pada keyakinan bahwa pengalaman dan upaya daya akal budi itu absah. Teori ilmu pengetahuan dipengaruhi dan ditetapkan secara kuat oleh logika. Manusia memperoleh pengetahuan bukan saja untuk menguasai alam tetapi juga membawa dia ke arah kehidupan yang mempunyai nilai-nilai tertentu. Ilmu pengetahuan merupakan ranah profan. Pengetahuan yang disusun oleh sains bersifat temporal dan pragmatis. Sains tidak bermaksud untuk menemukan kebenaran yang bersifat abadi melainkan cukup kebenaran yang bersifat sementara, yang fungsional dalam kurun waktu tertentu.

Hal ini lain sekali dengan moral yang diajarkan oleh agama yang bersifat abadi yang didak berubah dari masa ke masa. Sains sebagai alat, jika tanpa agama seabgai kompas, tidak akan membawa manusia ke arah kebaikan dan kebahagiaan. Sebaliknya sains hanya akan membawa malapetakan dan kesengsaraan. Di lain pihak, agama tanpa ilmu, tujuan yang mulia tanpa peralatan untuk mewujudkannya, akan tetap merupakan utopia dan angan-angan belaka.

Maka dari itu mereka menganggap segala hal yang diklaim sebagai kebenaran harus terbuka untuk dikritik dan difalsifikasi, demikian juga kebenaran sains yang bebas nilai dan bersifat netral. Sains secara metodologis menggunakan pendekatan metode ilmiah (saintific method) yang biasa disebut logico-hipotetico-verifikatif tersusun dari sintesis rasionalis-empiris dengan objek yang telah ditentukan dan dibatasi sesuai dengan karakter keilmuan. Bagaimana Pendapat kaum agamawan memandang sains dalam kerangka keyakinan mereka.

Kaum katholik dengan sadar mengakui bahwa pada abad skolastik gereja telah melakukan kesalahan fatal atas doktrin kebenaran mereka, silang pendapat kebenaran dari prespektif sains dan gereja yang semakin menghangat dimulai sejak teori heliosentrisnya copernicus yang menentang dogma gereja tentang konsep geosentris yang diakui kebenarannya pada masa itu. Ajaran gereja yang dogmatis semakin menguasai paradigma penganutnya sehingga siapapun yang tidak sependapat dengan "kitab suci" mereka maka di anggap kafir dan karena kafir itu sesat dan salah layak untuk dihukum dan disiksa, bahkan pasca copernicus, bruno dengan lantang mengumandangkan teori heliosentrisnya copernicus hingga dia dibakar hidup-hidup oleh kaum pendeta.

Demikian juga dengan galileo yang dipenjara seumur hidup karena ajarannya dianggap menyesatkan dan menyimpang dari ajaran gereja. Kemudian pada abad ke 17 dimulailah abad pencerahan "aufklarung" diprancis yang mampu membebaskan individu dari kungkungan hegemoni gereja sehingga perkembangan sains dan teknologi bisa sedemikian cepat. Namun pekembangan tersebut menjadi sebuah fenomena besar setelah dirasa bahwa banyak teknologi yang bebas nilai sehingga muncul dunia modern kapitalistik mekanistik yang sangat tidak memanusiakan manusia. dalam hal ini katholik mengeluarkan statement tentang pentingnya prinsip nilai dalam internalisasi sains dan teknologi di kehidupan sehari-hari, namun tidak diterangkan secara lebih lanjut bahwa prinsip nilai itu hanya layak untuk diterapkan dalam ranah teknologi teknis yang praktis dan fungsional bukan dalam tataran sains secara konseptual dan teoritik karena pada hakekatnya perkembangan sains bersifat bebas nilai, alamiah, dan hierarkis.

Relatifitas einstein tak akan ditemukan tanpa teori deterministik klasik newton, geometri non-euclid takkan ditemukan tanpa didahului geometri euclid. Dalam hal ini sangat jelas kesalahan persepsi tentang sifat-sifat sains. Jika sains itu bebas nilai tapi aplikasi sains yang berupa teknologi tidak bebas nilai, dalam tataran inilah agama menjadi landasan moral dalam penggunaan teknologi. Kemudian umat islam dalam sisi utility sama dengan kaum katholik, tapi disisi lain menganggap bahwasannya segala konsep sains sekaligus perkembangannya telah ada secara mutlak dalam al-quran sedangkan kemampuan manusia hanya dapat mengetahui sedikit dari dalam al-quran.

Artinya disini ada tuntutan untuk mencari dan memahami sains dalam al-quran yang secara tersurat maupun yang tersirat dengan menggunakan ijtihad atau nalarnya. Jadi pada dasarnya islam mencoba untuk mereduksi al-quran pada wilayah sains serta menafikan eksistensi hakekat sains sejarah dan pekembangannya yang telah dimulai sejak zaman babilonia primitif sampai pada zaman modern sekarang ini. Geneologi sejarah perkembangan sains ada pada umat islam an sich dan memandang sebelah mata sains barat karena dianggap telah melakukan distorsi sejarah dalam tataran sains dan teknologi. Kemudian umat islam menghembuskan pembongkaran sains dalam al-qur'an, Dengan demikian ada semacam persamaan metodologi dalam mempelajari al-quran dan sains padahal kedua hal tersebut pada hakekatnya mempunyai pendekatan metodologis yang berbeda. Dimana agama dimulai dari keyakinan dengan metode yang dogmatis dan menggunakan teori kebenaran yang doktriner, sedangkan sains dimulai dengan keraguan yang menerapkan konsep kebebasan dalam penjelajahan dunia sains dengan menggunakan metode ilmiah sebagai landasan dan pencarian kebenaran.

Bisa ditebak bahwa pemateri dari islam membawa misi dan kepentingan islamisasi sains. Ada ketimpangan pemahaman ditingkatan banyak umat islam penganut faham islamisasi sains yaitu bahwa sebenarnya apa yang telah ditemukan dan dikembangkan dalam ranah sains dan teknologi sudah ada lengkap dan sesuai dalam al-quran, sehingga banyak dari kalangan muslim yang mencari-cari dalil dari ayat al-quran untuk mengembel-embeli atau menjustifikasi bahwa kebenaran ilmiah juga diterima dan sesuai dengan al-quran, akhirnya al-qur'an hanya difungsikan sebagai alat legitimasi dan klaim belaka, tindakan ini tentunya tidak arif jika memang benar bahwa tujuan dari islamisasi sains adalah menggali al-quran dalam kaitannya dengan ketertinggalan umat islam atas non muslim tapi caranya mestinya bukan dengan mengislamkan sains karena dengan demikian akan lebih membatasi ruang gerak penjelajahan keilmuan, apakah mungkin metode doktriner yang kebenarannya dianggap mutlak bisa sejalan dengan metode bebas yang kebenarannya relatif dan semua pihak boleh menguji dan memfalsifikasi, terbuka, netral dan tidak dogmatis, yang suatu saat bisa ditumbangkan dengan teori baru yang lebih valid. Kemudian dari konghucu menganggap non dikotomi antara sains dan agama, seperti halnya kaum sofis mereka menganggap kebenaran adalah relatif dan meniadakan kebenaran mutlak atas segala sesuatu.

Seperti ungkapan kausalistik klasik yang dengan statemen kaum sofis juga meniscayakan bahwa stigma "tak ada kebenaran mutlak" sejalan dengan dugaan bahwa stigma tadi kemungkinan salah. Senjata makan tuan tadi bukan hanya meruntuhkan semua konsep yang telah tereduksi dari sana, namun lebih pada pernyataan yang meragukan, berupaya pada apologi yang tidak konsisten. Dari sinilah mereka kesulitan untuk menjawab pertanyaan sederhana "bagaimana mereka mendefinisikan sains dan agama?" sementara mereka sendiri yakin bahwa kebenaran adalah relatif, dan mereka juga yakin apapun jawaban dari mereka sama sekali mereka ragukan dan tidak diyakini.

Inkonsistensi dari dua hal yang kontradiktif dalam segala ide yang muncul dari kaum sofis juga dipersepsikan dalam konteks pendekatan metodologis sains dan agama, sehingga muncul banyak kerancuan definisi dari istilah-istilah yang tereduksi dari sana. Agamawan budha memulai persepsinya dari ketidakpercayaan terhadap segala sesuatu, mereka sepakat dengan metode ilmiah sebagai metodologi formal dari penjelajahan sains. Secara persepsional agama tidak diletakkan sebagai landasan moral tapi sebagai objek dalam pencarian kebenaran, yang dalam hal ini tampak subjektifitas dalam memahami sains dan agama sehingga keduanya menjadi parsial, sporadis, hanya sekedar berjalan sendiri-sendiri, serta lebih pada dikotomisasi sains dan agama, kedua-duanya tidak diposisikan secara proporsional.

Agama merupakan sumber pengetahuan tentang moral yaitu penilaian mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Pada hakikatnya agama memberikan petunjuk tentang tujuan yang harus dicapai oleh manusia dalam kehidupannya serta kriteria yang mengenai cara yang baik untuk mencapai tujuan tersebut. Baik magi maupun agama muncul dalam situasi ketertekanan, rasa hampa dan sia-sia, kematian dan inisiasi didalam suku-suku suci yang dijalankan secara ketat dan dalam kehidupan cinta yang tidak bahagia dan dendam yang tidak terpuaskan. Keduanya menyingkapkan jalan keluar dari situasi sulit atau jalan buntu seperti itu, tetapi tidak bisa dibuktikan secara empiris kecuali dengan keyakinan dan ritual kedalam ranah supernatural. Ranah ini dalam agama mencakup arwah dan roh yang tercakup dalam ramalan manusia-manusia primitif dari penyelenggaraan para dewa dan hal-hal warisan misteri suku-suku asli.

Tapi mereka menganggap bahwa pencerahan yang telah diklaim sebagai pembebasan dari belenggu akan kembali lagi menjadi mitos bagi perkembangan peradaban manusia. jadi secara inklusif mereka lebih toleran terhadap wacana yang memposisikan sains dan agama, namun tidak jelas peran agama dalam perkembangan sains. Seperti halnya pandangan islam, hindu meletakkan agama sebagai sumber pengetahuan, mereka secara induktif membaca fenomena yang secara niscaya mereka terjebak pada masalah praktis yang tidak substansial. Demikian juga mereka menganggap dengan kuasa memegang kendali wacana kebenaran tanpa sedikitpun membuka diri untuk menerima kritik apalagi negasi dari pihak eksternal mereka. Sikap tertutup semacam ini berimplikasi pada kemandekan perkembangan sains dalam kerangka teoritik sekaligus menghambat kemajuan peradaban manusia.

Isi dari pengetahuan rasional dan dari adat kebiasaan, magi dipadukan dalam tradisi yang berbeda dan latar belakang sosial yang berbeda dan diakorporasikan dalam aktivitas yang berbeda pula dan semua perbandingan ini diakui secara jelas oleh orang-orang primitif. Sains bersifat individual sedangkan agama lebih bersifat sosial. Agama diungkapkan dalam mitos dan upacara yang mempunyai makna sosial, dimana seluruh suku ambil bagian, sedangkan magi hanya merupakan keadaan dimana seseorang mempergunakan sihir untuk memenuhi maksud tertentu.

Saint dalam tiap bentuknya hanya sekali datang dan dimiliki oleh manusia. Saint harus diturunalihkan dalam pertalian langsung dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga magi selalu dikuasai oleh sekelompok spesialisasi saja. Agama dimaksudkan untuk semua, dimana setiap orang bisa ambil bagian serta aktif dengan peran yang sama. Pada saatnya mereka yang diinisiasi akan menginisiasi, meratapi dan mengenang roh sebagai spirit.

Salah satu spesialisasi dari agama bukan profesi tetapi kharisma. Dasar pada agama bersifat moral; harus berurusan atau menangani peristiwa-peristiwa yang tidak bisa diatasi dan supernatural. Sehingga jika manusia keliru menjalankannya tidak berpengaruh (ex opere operato). Pernyataan tentang alam yang terdapat dalam agama bukanlah penyataan yang bersifat kognitif dan faktual melainkan afektif dan simbolik. Agama tidak mengajarkan teori tentang alam tetapi menghimbau agar manusia mempelajari alam dalam pernyataan simbolik yang mampu ditafsirkan oleh manusia sesuai tingkat kemampuan berpikirnya.

Demikianlah secara sederhana dapat diprediksikan bahwa pandangan kaum agamawan terhadap sains dan teknologi sangat lekat dengan kritik karena secara substansial mereka telah menghegemoni sains yang dipersepsikan netral dan bebas nilai. Kecenderungan akhir dari pewacanaan tersebut telah menyebabkan sains menjadi alat kuasa yang jelas bisa ditebak bagaimana posisi agama dalam persinggungan wacana dengan sains. Tapi secara arif sekali lagi diakui bahwa kebenaran sejati selalu terbuka untuk dikritik dan difalsifikasi, dibongkar dan dipertanyakan, dan selebihnya adalah secara alamiah mengiringi kebudayaan manusia. baiklah kalau tidak sepakat, sejenak kita renungkan makna filosofis ungkapan Albert Einstein "ilmu tanpa agama adalah buta, agama tanpa ilmu adalah hampa".

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KORUPSI ditinjau dari teori fungsional struktural

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut UU. No 20 tahun 2001 Jo UU No. 31 tahun 1999, Korupsi didefinisikan sebagai tindakan melawan hukum dengan menyalahgunakan kewenangan/kesempatan/sarana yang ada pada seseorang karena jabatan/kedudukannya untuk memperkaya diri sendiri/orang lain/korporasi sehingga merugikan negara. Banyak penelitian membahas dan memberikan definisi mengenai korupsi dari berbagai sudut pandang sebagian besar definisi tersebut dititik beratkan pada perilaku.Korupsi yang mana menjadi salah satu hambatan terburuk dalam pembangunan suatu bangsa, korupsi sangat dinikmati oleh orang- orang kaya tetapi sangat menyengsarakan bagi orang-orang miskin dan korupsi merupakan hambatan terbesar untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi dalam sebuah masyarakat atau negara.Dan rentan sekali menambah kemelaratan warga Negara Indonesia. Terjadinya banyak kasus korupsi di Indonesia merupakan akibat dari buruknya kinerja birokrasi di Indonesia . Sudah menyebar luas di masyarakat bahwa d

Analisis Wacana Norman Fair Clough

A. Analisis Wacana Analisis adalah sebuah upaya atau proses (penguraian) untuk memberi penjelasan dari sebuah teks (realitas sosial) yang mau atau sedang dikaji oleh seseorang atau kelompok dominan yang kecenderungannya mempunyai tujuan tertentu untuk memperoleh apa yang di inginkan. Artinya dalam sebuah konteks kita juga harus menyadari akan adanya kepentingan, Oleh karena itu analisis yang terbentuk nantinya telah kita sadari telah dipengaruhi oleh si penulis dari berbagai faktor, kita dapat mengatakan bahwa di balik wacana itu terdapat makna dan citra yang diinginkan serta kepentingan yang sedang diperjuangkan. Wacana adalah proses pengembangan dari komunikasi, yang menggunakan simbol-simbol, yang berkaitan dengan interpretasi dan peristiwa-peristiwa, di dalam sistem kemasyarakatan yang luas. Melalui pendekatan wacana pesan-pesan komunikasi, seperti kata-kata, tulisan, gambar-gambar, dan lain-lain, Eksistensinya ditentukan oleh orang-orang yang menggunakannya, konteks per

sistem hukum indonesia

HUKUM DAN DIMENSI SPIRITUAL (Perspektif Positivis, Pospositivis dan Spiritualisme) Abstrak Tulisan ini akan mencoba menggambarkan hukum dan spiritualisme. Kajian hukum di sini dimaksudkan untuk menggambarkan hukum atau ilmu hukum melalui pendekatan perspektif historis, yakni pada era positivisme yang melahirkan hukum modern pada masyarakat liberal. Pada saat semacam itu nilai-nilai spiritual yang meliputi: etika moral dan agama tidak mendapat tempat sehingga hukum modern mengalami krisis spiritual. Dalam perkembangannya kemudian muncul gerakan pemikiran kritis yang post pisitivis yang berupaya untuk melepaskan diri dan menggugat pemikiran positivis. Pemikiran semacam itu berangkat pada pemahaman hukum yang tidak hanya bersifat formal, yang mementingkan peraturan, prosedur dan logik, tetapi lebih menekankan pada perkembangan mutahir ilmu pengetahuan (the pronter changing of science), yang memahami ilmu sebagai satu kesatuan (the unity of knowledge) yang tidak lepas dari fakta em